Skoring TB pada Anak

Dalam menegakkan diagnosis tuberkulosis (TB) pada pasien anak, sebaiknya menggunakan berbagai prosedur diagnostik. Apabila terdapat keterbatasan sarana diagnostik maupun biaya, dapat menggunakan suatu pendekatan diagnostik lain, yaitu sistem skoring. Sistem skoring dikembangkan oleh para ahli dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Kemenkes RI, dan WHO. Sistem ini mempermudah penegakan diagnosis TB anak, terutama di fasilitas pelayanan kesehatan dasar. Apa yang sebaiknya dilakukan?

Penilaian atau pembobotan pada sistem skoring menurut Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2013, meliputi hasil pemeriksaan tuberkulin (Uji Mantoux) dan kontak erat dengan pasien dewasa TB menular mempunyai skor (nilai) tertinggi, yaitu 3. Namun demikian, seperti dapat dilihat pada lampiran tulisan ini, uji tuberkulin bukan merupakan pemeriksaan penentu utama, untuk menegakkan diagnosis TB anak. Selain itu, pasien anak dengan jumlah skor ≥6, dapat didiagnosis, harus ditatalaksana sebagai pasien TB, dan mendapat OAT (Obat Anti Tuberkulosis).

Beberapa keadaan klinis khusus pada pasien, memerlukan pemeriksaan lebih lanjut di fasilitas pelayanan kesehatan rujukan. Misalnya ditemukan gibbus atau koksitis TB, juga tanda bahaya TB saraf pusat, yaitu kejang, kaku kuduk, dan penurunan kesadaran. Selain itu, juga adanya tanda kegawatan lain, misalnya sesak napas atau pada pemeriksaan foto Rontgen polos dada atau toraks menunjukan gambaran efusi pleura, milier, atau kavitas.

Pada sistem skoring, beberapa parameter memerlukan penjelasan khusus. Kontak dengan pasien pasien dewasa TB BTA positif diberi skor 3, hanya bila ada bukti tertulis hasil laboratorium BTA dari orang dewasa sebagai sumber penularan. Data ini dapat diperoleh dari formulir TB 01 atau dari hasil laboratorium. Penentuan status gizi anak dilakukan dengan parameter BB/TB atau BB/U dengan Berat Badan, Panjang atau Tinggi Badan, dan Umur diukur saat pasien datang (moment opname). Penentuan status gizi untuk anak usia <5 tahun menggunakan panduan buku KIA terbitan Kemenkes RI, sedangkan untuk anak usia >5 tahun menggunakan kurva CDC terbitan tahun 2000. Apabila BB kurang, anak juga harus diberikan upaya perbaikan gizi dan dievaluasi selama 1 bulan.

Screen Shot 2015-04-15 at 10.12.53

Gejala klinis demam (≥2 minggu) dan batuk (≥3 minggu) lama, dapat bernilai apabila tidak membaik setelah diberikan pengobatan, sesuai baku terapi di fasilitas pelayanan kesehatan dasar. Selain itu, gambaran foto toraks yang mendukung TB dapat berupa pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan atau tanpa infiltrat, atelektasis, konsolidasi segmental atau lobar, milier, kalsifikasi dengan infiltrat, ataupun tuberkuloma. Foto toraks bukan merupakan alat diagnostik utama pada TB anak

Diagnosis TB pada anak dengan sistem skoring sebaiknya ditegakkan oleh dokter. Apabila di fasilitas pelayanan kesehatan tidak ada dokter, pelimpahan wewenang terbatas dapat diberikan kepada petugas kesehatan lainnya. Namun demikian, seharusnya hanya kepada petugas yang sudah dilatih tentang strategi DOTS, untuk menegakkan diagnosis dan tatalaksana TB anak. Dalam sistem skoring ini, anak didiagnosis TB jika jumlah skor ≥ 6, dengan skor maksimal 13.

Anak dengan skor 6 yang diperoleh dari poin kontak dengan pasien BTA positif dan hasil uji tuberkulin positif, tetapi TANPA gejala klinis, maka pada anak tersebut belum perlu diberikan OAT. Anak tersebut cukup dilakukan observasi atau diberi INH profilaksis, tergantung dari umur anak.

Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dengan gejala klinis yang meragukan, maka pasien tersebut dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan, untuk evaluasi lebih lanjut . Anak dengan skor 5 yang terdiri dari poin kontak BTA positif dan 2 gejala klinis lain, pada fasilitas pelayanan kesehatan yang tidak tersedia uji tuberkulin, maka dapat didiagnosis, diterapi ,dan dipantau sebagai TB anak. Pemantauan dilakukan selama 2 bulan terapi awal, dan apabila terdapat perbaikan klinis, maka terapi OAT dilanjutkan sampai selesai 6 bulan. Semua bayi dengan reaksi cepat (<2 minggu) setelah pemberian imunisasi BCG, seharusnya dicurigai telah terinfeksi TB, dan harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak.

Untuk daerah dengan fasilitas pelayanan kesehatan dasar yang terbatas, yaitu tidak tersedianya uji tuberkulin dan atau foto toraks, maka evaluasi dengan sistem skoring tetap boleh dilakukan, dan dapat didiagnosis TB dengan syarat skor ≥ 6. Pada anak yang pada evaluasi bulan ke-2 tidak menunjukkan perbaikan klinis berarti, sebaiknya diperiksa lebih lanjut. Pemeriksaan lanjutan bertujuan untuk mencari faktor penyebab lain, misalnya kesalahan diagnosis, adanya penyakit penyerta, gizi buruk, TB-MDR, maupun masalah ketidakkepatuhan berobat pasien. Yang dimaksud dengan perbaikan klinis adalah perbaikan dari gejala yang ditemukan pada anak tersebut, saat diagnosis ditegakkan.

Sistem skoring ini diharapkan dapat mengurangi terjadinya ‘under’ maupun ‘overdiagnosis’ TB anak. Tentunya agar pelayanan kesehatan untuk semua pasien anak di Indonesia, termasuk TB anak, akan semakin efisien dan dapat dijangkau oleh BPJS Kesehatan, sebagai penjaminan biaya pasien (universal health coverage).

ditulis oleh:

fx. wikan indrarto, dokter spesialis anak di RS Bethesda Yogyakarta

Catatan : dimuat di harian Kedaulatan Rakyat Minggu, 4 Januari 2015, halaman 7.

Saat Anak Meninggal

Kematian seorang anak dapat memiliki dampak buruk pada keluarga. Dokter memiliki peran penting dalam mendukung orangtua yang berduka, meskipun sebagian besar dokter mungkin kurang siap untuk tugas itu. Juga, karena rasa menyesal atas kesedihan orang tua, dokter mungkin enggan untuk terlibat. Apa yang sebaiknya dilakukan dokter?

Kematian anak dengan penyebab apapun, memiliki dampak buruk terhadap keluarga. Bagi orang tua, kehilangan anak seolah melawan tatanan alam, karena semua orang tua tidak pernah berharap untuk menguburkan anak-anak mereka. Dokter sebaiknya membantu anggota keluarga mengatasi dampak langsung maupun efek berkelanjutan dari sebuah kematian anak, meskipun dokter mungkin saja merasa bahwa keterlibatan ini terlalu emosional dan menyakitkan.

Kematian seorang anak sangat menyakitkan bagi orang tua, karena orang tua memiliki kewajiban emosional yang kuat, untuk melindungi anak dari bahaya dan penyakit. Kebanyakan orang tua mengalami rasa bersalah yang mendalam ketika datang bahaya dan penyakit pada anak mereka, meskipun sebenarnya bukan karena kesalahan orangtua sendiri. Orangtua pada umumnya memiliki banyak harapan dan keinginan dalam masa depan anak mereka. Semua faktor ini menyebabkan kesedihan yang dalam dan jauh lebih bertahan lama, daripada orang lain. Kedalaman duka orangtua sering menimbulkan guncangan psikologis dan tidak mampu berfungsi normal dalam berbagai peran, setelah kematian anak mereka. Mereka mungkin menghabiskan hari di tempat tidur, di rumah saja, menghindari pekerjaan, dan tidak mampu melaksanakan tugas rumah tangga sederhana sekalipun, termasuk makan dan tidur. Pikiran bahwa hidup ini tidak layak dijalani sering terjadi, termasuk pikiran yang buruk karena akan menjadi “gila”.

Dalam kasus kematian bayi, banyak dokter, orang tua, dan anggota keluarga lainnya mengalami kesedihan dan bingung yang berbeda dengan kasus kematian anak. Ketika seorang anak meninggal karena penyakit kronis atau cacat, mungkin sekali bahwa dokter telah terlibat dalam perawatan pasien dan mungkin memiliki hubungan lama dengan keluarga. Meskipun keluarga mungkin telah mengantisipasi kematian, kesedihan masih akan cenderung mendalam. Bahkan pada anak yang memiliki cacat atau penyakit berat, kesedihan dan rasa kehilangan orang tua biasanya tetap tidak berkurang. Ketika telah terjadi hubungan yang lama antara dokter dengan keluarga terkait penyakit anak tersebut, keluarga mungkin juga mengalami kehilangan hubungan baik dengan dokter. Dalam keadaan ini, hubungan baik dokter yang tetap diteruskan dengan keluarga, mungkin sangat penting.
Peran dokter yang paling bermanfaat setelah kematian anak adalah memberikan kesempatan kepada orang tua untuk bertemu dan bertatap muka. Pada kesempatan tersebut, dokter berperan hanya mendengarkan dan menanggapi dengan cara yang bijak untuk mendorong orang tua agar berbicara. Seringkali dalam kematian anak yang mendadak, dokter gagal untuk berperan lengkap. Kegagalan ini akan menyebabkan kepedihan keluarga semakin bertambah. Banyak dokter berpendapat bahwa peran tersebut menyulitkan, sehingga justru menghindari kontak dengan orang tua yang berduka. Dokter cukup sering memegang pendapat yang keliru, bahwa berbicara tentang kematian akan merugikan, karena pembicaraan tersebut akan membangunkan kembali dan memperpanjang kesedihan orang tua. Sebenarnya justru sebaliknya, ternyata orang tua yang berduka mengakui bahwa kesedihan adalah hal yang penting. Namun demikian, mereka jarang melupakan perhatian dokter yang melakukan kontak, setelah kematian anak. Jika dokter memiliki hubungan dengan keluarga, dokter sebaiknya menghubungi orang tua ketika mendengar kabar tentang kematian anak. Kontak tersebut harus lebih dari sekedar kehadiran pada pelayatan atau pemakaman. Pada saat berduka, kontak pribadi dengan orang tua pada umumnya tidak mungkin, karena orang tua biasanya mengalami kesedihan dan tidak mampu berpikir jernih, sehingga kontak
yang paling membantu adalah kunjungan tatap muka (face-to-face visit).

Tujuan dari pertemuan tersebut adalah untuk menyadari tentang kematian dan memungkinkan orang tua untuk berbicara. Dokter mungkin memulai pembicaraan dengan kata-kata sederhana, “Saya sangat menyesal mendengar tentang kematiannya. Apa kerugian yang mendalam bagi Anda dan keluarga Anda?” Upaya mengurangi kesedihan dengan memberikan nasihat, biasanya tidak efektif dan mungkin menyakitkan. Komentar untuk orang tua dari anak difabel yang meninggal haruslah bijak, karena ucapan seperti “dia sekarang lebih baik,” justru sering dianggap sebagai mengecilkan nilai anak.

Masa selama setahun berduka diakui oleh banyak agama dan budaya di dunia. Namun demikian, pada umumnya orang tua dapat mengalami kesedihan yang mendalam untuk lebih lama lagi. Peristiwa penting di dalam keluarga, seperti wisuda, pernikahan, ulang tahun, dan kelahiran, sering kali membangunkan kembali kesedihan. Peristiwa tersebut merupakan pengingat dari harapan dan impian yang menjadi hancur karena kematian anak. Dalam perjalanan waktu, orangtua akan berhasil untuk tidak lagi menghidupkan kembali pengalaman pada saat kematian, bahkan mampu mengingat peristiwa yang umum dan membahagiakan dalam kehidupan anak, bahkan dengan senang hati. Orang tua sering menduga bahwa ketakutan terbesar adalah bahwa anak akan dilupakan.
Orangtua sering merasa sakit hati mendengar pernyataan seperti, “Anda harus mendapatkan lebih dari itu dan melanjutkan hidup Anda.” Kebanyakan orangtua terhibur dalam suatu lingkungan dengan orang lain yang telah memiliki pengalaman serupa dan bertemu dengan orang yang telah berhasil mengatasi masalah tersebut. Dokter didorong untuk melibatkan kelompok pendukung dalam komunitas mereka dan bagaimana mereka berfungsi. Mereka kemudian dapat merujuk orang tua yang mungkin memerlukan kelompok tersebut.

Istilah duka mendalam” “complicated grief” adalah situasi ketika kesedihan begitu hebat dan  atau berkepanjangan, sehingga pengelolaan kesehatan mental atau pengobatan diperlukan. Sulit untuk menentukan gejala-gejala atau keadaan ketika titik ini tercapai, namun beberapa panduan umum dapat diberikan. Duka mendalam paling sering terjadi ketika orangtua sudah mengalami masalah kejiwaan, atau orang tua mungkin memiliki gangguan kejiwaan di masa lalu. Paling sering adalah depresi, sehingga kematian anak cenderung memperburuk hal itu. Kematian seorang anak ketika hubungan orangtua-anak bermasalah, sering juga menimbulkan duka mendalam dan merupakan reaksi normal hilangnya seorang anak. Dalam kebanyakan situasi, obat tidak diperlukan dan dapat menjadi kontraproduktif. Namun, jika kesedihan menjadi sangat intens dan melemahkan, pengobatan mungkin diperlukan, dan rujukan ke dokter spesialis kesehatan mental harus dipertimbangkan.

ditulis oleh:

fx. wikan indrarto, dokter spesialis anak di RS Bethesda Yogyakarta

 

Overdiagnosis

“Top 10 most-read articles by Pediatricians last month”, yaitu bulan September 2014 dapat dilihat pada  http://www.medscape.com/viewarticle. Salah satu yang menarik adalah tentang overdiagnosis yang dimuat di dalam jurnal “Pediatrics” dan dipublikasikan secara online pada 6 Oktober 2014. Apa yang sebaiknya diketahui?

Overdiagnosis dalam penanganan dokter pada pasien anak dapat menyebabkan tidak hanya kegagalan terapi, tetapi juga kerugian yang tidak perlu. Makalah ini ditulis oleh Eric R. Coon, MD, dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak di University of Utah School of Medicine di Salt Lake City. Diperlukan penelitian lebih lanjut tentang potensi bahaya, manfaat, dan frekuensi kejadian overdiagnosis. Overdiagnosis definisikan sebagai diagnosis yang akurat dari sebuah penyakit, tetapi pemeriksaan penunjang medik yang dilakukan, tidak bermanfaat bagi pasien. Sebaiknya berhati-hati dalam membedakannya dengan misdiagnosis dan overtreatment.

Overdiagnosis pada populasi dewasa telah diketahui secara luas, tetapi belum banyak diteliti pada pasien anak. Gagasan bahwa diagnosis yang akurat dapat ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang yang lebih selektif, bertentangan dengan pendapat konvensional bahwa semakin banyak pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada seorang pasien, tentu akan semakin baik. Overdiagnosis merugikan secara fisik, psikologis, ekonomis, dan biaya kesempatan (“opportunity costs”). Paradigma kepastian atau “intolerance of uncertainty” adalah salah satu faktor pendorong terjadinya overdiagnosis, bersama dengan budaya belajar di fakultas kedokteran dengan strategi pembelajaran berbasis masalah, berperan penting mendorong terbentuknya paradigma kepastian diagnosis, yaitu dengan “a shotgun approach” yang berupa pemeriksaan penunjang medik, untuk sebuah diagnosis penyakit. Penyebab lainnya, termasuk insentif sistem seperti bonus untuk dokter pengirim sebuah pemeriksaan penunjang medik, pengaruh industri alat kesehatan, dan paradigma kurang bijak “bahwa penggunaan teknologi kedokteran untuk mendeteksi penyakit, selalu bermanfaat.”

Diperlikan penelitian yang berfokus pada frekuensi relatif overdiagnosis, rasio manfaat potensial dari sebuah diagnosis yang tegak, potensi bahaya dari overdiagnosis, dan jumlah pemborosan penggunaan sumber daya yang dihasilkan dari setiap overdiagnosis.

Ketidakpastian umum dalam bidang pediatri adalah bukti dasar sebuah diagnosis tidak selalu kuat. Pada hal, baik orang tua maupun dokter sebenarnya merasa nyaman dengan ketidakpastian tersebut, sehingga cukup sering hanya melakukan evaluasi lanjutan atau terapi simptomatis yang umumnya lebih baik atau lebih aman, dibandingkan dengan melakukan intervensi atau pemeriksaan invasif. Orangtua perlu memahami bahwa beberapa pemeriksaan penunjang medik kadang-kadang dapat berbahaya atau menimbulkan sebuah kehilangan, apalagi bila pemeriksaan tersebut relatif terlalu banyak. “Overtesting” tersebut dapat menyebabkan “false-positif” dan atau “overdiagnosis”. Dengan demikian, diperlukan komunikasi yang terbuka dengan orangtua dan keluarga, tentang kontribusi suatu hasil pemeriksaan penunjang medik dan bagaimana hasil pemeriksaan ini digunakan, semata-mata akan menguntungkan pasien, bahkan mampu untuk mengurangi overdiagnosis.

“Bahaya utama dari overdiagnosis adalah menyebabkan anak harus mengkonsumsi obat yang sebenarnya tidak akan membantunya,” kata Gabrielle Carson, seorang psikiater anak dan profesor psikiatri dan pediatri, Stony Brook University School of Medicine, New York. Hanya 10% dari resep obat untuk anak yang sebenarnya bermanfaat dan perlu dilanjutkan. Dalam prakteknya di Long Island, New York, jika dokter terlalu banyak pasien dan memeriksanya secara cepat, dapat berpotensi menyebabkan “over-, mis-, and underdiagosis”.

Reformasi sistem kesehatan dengan penghapusan insentif atau bonus untuk pemeriksaan penunjang medik yang tidak perlu, dapat membantu menurunkan overdiagnosis. Selain itu, sistem pelayanan kesehatan harus bergerak menjauh dari paradigma ‘fee-for-service’, yaitu penjamin biaya finansial tidak boleh lagi dipengaruhi oleh jumlah pemeriksaan penunjang medik dan tindakan intervensi medis, agar mengurangi peluang overdiagnosis. Sejak diberlakukannya sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada 1 Januari 2014 yang lalu, reformasi sistem kesehatan telah dilakukan di seluruh Indonesia, dengan penjamin biaya oleh BPJS Kesehatan.

‘Overdiagnosis’ harus kita pahami untuk dicegah, agar pelayanan kesehatan untuk pasien anak dapat menjangkau seluruh anak Indonesia (universal health coverage), oleh BPJS Kesehatan sebagai penjaminan biaya.

ditulis oleh:

fx. wikan iondrarto, dokter spesialis anak di RS Bethesda Yogyakarta
Catatan : dimuat di semijurnal Farmasi dan Kedokteran ‘Ethical Digest’, no 131, tahun XI, Januari 2015.