kekerasan terhadap anak

KEKERASAN PADA ANAK

Pembunuhan Engeline, anak usia 8 tahun di Denpasar Bali, mengingatkan kita akan adanya kekerasan pada anak. Data Global status report on violence prevention tahun 2014 dari 133 negara, adalah laporan tentang penganiayaan, kekerasan, pelecehan seksual, dan penelantaran pada anak. Sekitar 250.000 kasus pembunuhan anak terjadi sepanjang tahun 2013, yaitu 43% dari total jumlah pembunuhan global setiap tahun. Apa yang sebaiknya kita sadari?

Kekerasan pada anak memiliki dampak serius, karena seringkali berlangsung seumur hidup, tidak hanya pada aspek medis, tetapi juga pada fungsi psikologis dan sosial. Wajar saja kekerasan pada anak terbukti meningkatkan biaya pelayanan kesehatan, kesejahteraan, dan peradilan pidana, juga mengurangi produktivitas dan umumnya bahkan merusak struktur sosial di masyarakat. Untuk setiap kasus kekerasan pada anak, 40% mengalami cedera berat, yang memerlukan perawatan di rumah sakit. Cidera ini juga mencakup 24% anak perempuan yang mengalami kekerasan seksual.

Kekerasan pada anak merupakan masalah kesehatan masyarakat global. Ini mencakup berbagai tindakan dari ‘bullying’ dan ‘fighting’ secara fisik ataupun seksual, bahkan yang lebih parah adalah pembunuhan. Tingkat pembunuhan anak bervariasi, termasuk kasus Engelin di Bali. Namun di semua negara, anak laki-laki sebenarnya merupakan mayoritas pelaku dan sekaligus juga korban pembunuhan. Tingkat pembunuhan pada anak perempuan secara global, jauh lebih rendah daripada anak laki-laki di hampir semua negara. Pembunuhan dan kekerasan pada anak tidak hanya berkontribusi besar terhadap beban global kematian dini, cedera dan cacat, tetapi juga memiliki dampak serius, seringkali bahkan seumur hidup, pada fungsi psikologis dan sosial seseorang. Hal ini dapat mempengaruhi keluarga korban, teman dan masyarakat. Pada rentang tahun 2000-2012, tingkat pembunuhan anak menurun di sebagian besar negara, meskipun penurunan telah lebih besar di negara-negara berpenghasilan tinggi daripada di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.

Kekerasan seksual juga menduduki proporsi yang signifikan, yaitu 24% anak perempuan mengalami kekerasan dalam rumah tangga, berupa kekerasan seksual pertama mereka. Laporan ‘Multi-country study on women’s health and domestic violence’ menyebutkan bahwa,  kekerasan fisik dan intimidasi juga umum di kalangan anak perempuan. Laporan dari 40 negara berkembang, termasuk Indonesia menunjukkan bahwa intimidasi terjadi pada 45,2% anak laki-laki dan 35,8% anak perempuan.

Faktor yang dapat meningkatkan terjadinya kekerasan pada anak sangat kompleks, meliputi diri anak itu sendiri, keluarga dan komunitas atau negara. Faktor risiko dalam diri individu anak meliputi sifat hiperaktif, impulsif, agresif, kontrol perilaku yang buruk, kurang perhatian, anak yang tidak dikehendaki, keterlibatan awal atau kecanduan alkohol, obat-obatan dan rokok, keyakinan aneh dan sikap antisosial. Selain itu juga kecerdasan dan prestasi pendidikan yang rendah, rendahnya minat dan kegagalan di sekolah, berasal dari orang tua tunggal atau rumah tangga kurang harmonis, perceraian orang tua, dan paparan kekerasan dalam keluarga.

Faktor risiko dalam hubungan dengan orang dekat dalam keluarga atau teman meliputi kurangnya pemantauan dan pengawasan anak oleh orang tua, pendidikan disiplin orangtua yang terlalu keras, kendur atau bahkan tidak konsisten, keterikatan emosional antara orang tua dan anak yang rendah, keterlibatan orang tua dalam kegiatan anak yang rendah, dan orangtua terlibat dalam penyalahgunaan obat atau kriminalitas. Selain itu juga tingkat pendidikan dan pendapatan keluarga yang rendah.

Faktor risiko dalam komunitas dan masyarakat yang lebih luas meliputi  rendahnya tingkat kohesi sosial dalam masyarakat dan pasokan senjata atau obat-obatan terlarang, tidak adanya alternatif non-kekerasan untuk menyelesaikan konflik antar anak, ketimpangan pendapatan yang tinggi, perubahan sosial dan demografi yang cepat, urbanisasi, dan kualitas pemerintahan suatu negara. Dalam hal ini meliputi penegakan hukum dan kebijakan pemerintah di bidang pendidikan dan perlindungan sosial.

Program pencegahan kekerasan yang sudah terbukti efektif, juga dapat dibaca pada Global status report on violence prevention 2014. Pencegahan tersebut meliputi program keterampilan dan pembangunan sosial untuk membantu anak mengelola kemarahan, menyelesaikan konflik, dan mengembangkan keterampilan sosial yang diperlukan untuk memecahkan masalah, kurikulum sekolah berbasis program pencegahan anti-intimidasi, dan kurikulum prasekolah agar anak memiliki kemampuan akademik dan sosial sejak usia dini. Dalam tataran hukum dan aspek keamanan, dapat berupa program untuk mengurangi akses anak ke alkohol, obat dan rokok, yaitu melalui peningkatan pajak dan pengurangan jumlah ‘outlet’ penjualan. Yang terakhir, meningkatkan pengelolaan lingkungan, misalnya mengurangi kesempatan anak berkerumun dan mengurangi konsentrasi kemiskinan di suatu wilayah, dengan membantu keluarga pindah ke lingkungan sosial yang lebih baik.

Program pencegahan yang sudah terbukti berhasil di dalam Global status report on violence prevention 2014, layak kita contoh, juga dengan mengkoreksi faktor risiko yang ada untuk terjadinya kekerasan pada anak. Tentunya agar kasus pembunuhan Engelin di Bali tidak terulang dan anak-anak di sekitar kita, terbebas dari ancaman kekerasan dan pembunuhan.

Penulis:

fx. wikan indrarto

dokter spesialis anak di RS Bethesda Yogyakarta,
alumnus S3 FK UGM