hepatitis day

HARI HEPATITIS DUNIA – 28 JULI 2015

Pada Hari Hepatitis Sedunia, 28 Juli 2015, WHO mendesak tindakan global untuk mencegah infeksi dan kematian karena hepatitis. Tanggal 28 Juli dipilih untuk menghormati ulang tahun pemenang hadiah Nobel bidang kedokteran, Profesor Baruch Samuel Blumberg, penemu virus hepatitis B dan pengembang vaksin hepatitis B pertama. Tema Hari Hepatitis Sedunia 2015 adalah ‘Prevent hepatitis. Act now!’ Apa yang sebaiknya diketahui tentang hepatitis B?

Virus Hepatitis B (VHB) adalah virus yang menyerang hati dan dapat menyebabkan penyakit hepatitis, baik akut dan kronis. Virus ini ditularkan melalui kontak dengan darah atau cairan tubuh lain, dengan orang yang terinfeksi. Diperkirakan 240 juta orang secara global, terinfeksi VHB dan menjadi hepatitis B kronis. Sekitar 780.000 orang meninggal setiap tahun karena infeksi VHB dan 650.000 karena sirosis dan kanker hati, sebagai akibat hepatitis B kronis, dan 130.000 karena hepatitis B akut. Selain  itu, Hepatitis B adalah risiko pekerjaan sangat penting bagi petugas kesehatan.

Di daerah endemis tinggi, seperti Indonesia, VHB ini paling sering menyebar dari ibu ke bayi saat lahir (transmisi perinatal), atau melalui transmisi horizontal (paparan darah yang terinfeksi), terutama dari anak yang terinfeksi kepada anak yang tidak terinfeksi selama 5 tahun pertama kehidupan. VHB juga disebarkan oleh paparan perkutan atau mukosa dengan darah yang terinfeksi dan berbagai cairan tubuh, serta melalui air liur, haid, vagina, dan cairan mani. Penularan VHB dapat juga terjadi dengan berhubungan seks, penggunaan (kembali) jarum suntik, baik pada fasilitas pelayanan kesehatan atau di antara pengguna narkoba suntik. Bahkan infeksi VHB dapat terjadi selama prosedur medis, bedah dan gigi, tato, atau melalui penggunaan pisau cukur dan benda serupa yang terkontaminasi dengan darah yang terinfeksi VHB.

Kemungkinan kelanjutan infeksi VHB menjadi kronis, tergantung pada usia berapa infeksi tersebut terjadi. Anak kurang dari 5 tahun yang terinfeksi VHB adalah yang paling mungkin untuk berkembang menjadi infeksi kronis. Data menunjukkan bahwa, perkembangan menjadi infeksi kronis terjadi pada 80-90% bayi yang terinfeksi selama tahun pertama kehidupan dan 30-50% anak yang terinfeksi sebelum usia 6 tahun. Sebaliknya, hanya <5% orang dewasa sehat akan menjadi hepatitis B kronis dan hanya 20-30% orang dewasa dengan hepatitis B kronis akan berlanjut menjadi sirosis dan atau kanker hati. Lebih dari 90% orang dewasa sehat yang terinfeksi VHB, akan pulih secara alami dalam tahun pertama.

Diagnosis laboratorium untuk infeksi VHB berfokus pada deteksi adanya antigen permukaan VHB atau HBsAg. Infeksi VHB akut ditandai dengan adanya HBsAg dan antibodi immunoglobulin M (IgM) terhadap antigen inti atau HbcAg, keduanya positif. Selama fase awal infeksi, juga seropositif untuk antigen e VHB atau HbeAg, yang merupakan penanda replikasi virus tingkat tinggi. Dengan demikian, HBeAg yang positif menunjukkan bahwa darah dan cairan tubuh dari orang tersebut yang amat sangat menular. Sebaliknya, infeksi VHB kronis ditandai dengan HBsAg yang tetap positif selama minimal 6 bulan, dengan atau tanpa bersamaan HBeAg. HBsAg yang tetap positif adalah penanda utama risiko untuk berkembang menjadi penyakit hati kronis atau sirosis dan kanker hati atau karsinoma hepatocellullar, di kemudian hari.

Tidak ada pengobatan khusus untuk hepatitis B akut. Oleh karena itu, perawatan ditujukan untuk menjaga kenyamanan pasien dan keseimbangan gizi yang memadai, termasuk penggantian cairan yang hilang karena muntah dan diare.
Pengobatan menggunakan suntikan interferon, dapat dipertimbangkan pada beberapa kasus, namun penggunaan rutin kurang layak, karena biaya sangat mahal dan efek samping yang signifikan, sehingga membutuhkan pemantauan yang lebih berhati-hati.

WHO merekomendasikan bahwa semua bayi seharusnya menerima vaksin hepatitis B dosis awal (HB 0) sesegera mungkin, sebaiknya dalam waktu 24 jam setelah lahir. Dosis awal seharusnya juga  diikuti oleh 2 atau 3 dosis.  Vaksinasi HB lengkap menginduksi tingkat antibodi pelindung pada lebih dari 95% bayi, anak dan dewasa muda. Perlindungan berlangsung minimal 20 tahun dan mungkin bahkan seumur hidup. Dengan demikian, penguat vaksinasi atau booster tidak rekomendasikan. Sebaliknya, semua orang yang sebelumnya tidak divaksinasi, harus menerima vaksin, jika mereka tinggal di wilayah dengan endemisitas rendah atau menengah. Kelompok berisiko tinggi juga harus divaksinasi, termasuk orang yang sering membutuhkan darah atau produk darah, dialisis, transplantasi organ padat, penghuni penjara, pengguna narkoba suntik, kontak rumah tangga dan seksual dengan infeksi VHB kronis, petugas kesehatan yang mungkin terkena darah dan produk darah melalui pekerjaan mereka, dan wisatawan yang akan pergi ke daerah endemik.

Vaksin ini memiliki catatan yang sangat baik dari segi keamanan dan efektivitas. Sejak tahun 1982, lebih dari 1 miliar dosis vaksin hepatitis B telah digunakan di seluruh dunia, dan telah mengurangi tingkat infeksi kronis menjadi kurang dari 1% di antara anak yang diimunisasi. Pada tahun 2013, sebanyak 183 negara telah memasukkan vaksinasi hepatitis B sebagai bagian dari program vaksinasi nasional dan 81% anak sudah menerima 3 dosis vaksin hepatitis B. Prestasi ini merupakan peningkatan besar dibandingkan dengan hanya 31 negara pada tahun 1992, saat Majelis Kesehatan Dunia mengesahkan vaksinasi global melawan hepatitis B. Selain itu, pada 2013 sebanyak 93 negara telah memprogramkan vaksin hepatitis B dosis lahir (HB 0), termasuk di Indonesia.

Pada bulan Maret 2015, WHO menerbitkan pedoman penanganan infeksi hepatitis B kronis. Rekomendasinya adalah mempromosikan penggunaan metode pemeriksaan diagnostik non-invasif sederhana, untuk menilai stadium penyakit hati dan kelayakan untuk pengobatan. Memprioritaskan pengobatan hepatitis berat dan paling berisiko kematian. Yang terakhir, merekomendasikan penggunaan obat tenofovir dan entecavir pada pasien dewasa, dan entecavir pada pasien anak, sebagai pengobatan hepatitis lini pertama. Selain itu, juga pengobatan untuk sirosis seumur hidup dan pemantauan rutin untuk perkembangan penyakit, toksisitas obat, dan deteksi dini kanker hati.

Momentum Hari Hepatitis Sedunia 28 Juli 2015 ini mengingatkan kita semua, agar segera melakukan pencegahan (‘Prevent hepatitis. Act now!’) dengan mempromosikan vaksinasi, sebagai tindakan pencegahan hepatitis B yang utama.

Penulis: fx. wikan indrarto

dokter spesialis anak di RS Bethesda Yogyakarta
Alumnus S3 UGM

kekerasan terhadap anak

KEKERASAN PADA ANAK

Pembunuhan Engeline, anak usia 8 tahun di Denpasar Bali, mengingatkan kita akan adanya kekerasan pada anak. Data Global status report on violence prevention tahun 2014 dari 133 negara, adalah laporan tentang penganiayaan, kekerasan, pelecehan seksual, dan penelantaran pada anak. Sekitar 250.000 kasus pembunuhan anak terjadi sepanjang tahun 2013, yaitu 43% dari total jumlah pembunuhan global setiap tahun. Apa yang sebaiknya kita sadari?

Kekerasan pada anak memiliki dampak serius, karena seringkali berlangsung seumur hidup, tidak hanya pada aspek medis, tetapi juga pada fungsi psikologis dan sosial. Wajar saja kekerasan pada anak terbukti meningkatkan biaya pelayanan kesehatan, kesejahteraan, dan peradilan pidana, juga mengurangi produktivitas dan umumnya bahkan merusak struktur sosial di masyarakat. Untuk setiap kasus kekerasan pada anak, 40% mengalami cedera berat, yang memerlukan perawatan di rumah sakit. Cidera ini juga mencakup 24% anak perempuan yang mengalami kekerasan seksual.

Kekerasan pada anak merupakan masalah kesehatan masyarakat global. Ini mencakup berbagai tindakan dari ‘bullying’ dan ‘fighting’ secara fisik ataupun seksual, bahkan yang lebih parah adalah pembunuhan. Tingkat pembunuhan anak bervariasi, termasuk kasus Engelin di Bali. Namun di semua negara, anak laki-laki sebenarnya merupakan mayoritas pelaku dan sekaligus juga korban pembunuhan. Tingkat pembunuhan pada anak perempuan secara global, jauh lebih rendah daripada anak laki-laki di hampir semua negara. Pembunuhan dan kekerasan pada anak tidak hanya berkontribusi besar terhadap beban global kematian dini, cedera dan cacat, tetapi juga memiliki dampak serius, seringkali bahkan seumur hidup, pada fungsi psikologis dan sosial seseorang. Hal ini dapat mempengaruhi keluarga korban, teman dan masyarakat. Pada rentang tahun 2000-2012, tingkat pembunuhan anak menurun di sebagian besar negara, meskipun penurunan telah lebih besar di negara-negara berpenghasilan tinggi daripada di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.

Kekerasan seksual juga menduduki proporsi yang signifikan, yaitu 24% anak perempuan mengalami kekerasan dalam rumah tangga, berupa kekerasan seksual pertama mereka. Laporan ‘Multi-country study on women’s health and domestic violence’ menyebutkan bahwa,  kekerasan fisik dan intimidasi juga umum di kalangan anak perempuan. Laporan dari 40 negara berkembang, termasuk Indonesia menunjukkan bahwa intimidasi terjadi pada 45,2% anak laki-laki dan 35,8% anak perempuan.

Faktor yang dapat meningkatkan terjadinya kekerasan pada anak sangat kompleks, meliputi diri anak itu sendiri, keluarga dan komunitas atau negara. Faktor risiko dalam diri individu anak meliputi sifat hiperaktif, impulsif, agresif, kontrol perilaku yang buruk, kurang perhatian, anak yang tidak dikehendaki, keterlibatan awal atau kecanduan alkohol, obat-obatan dan rokok, keyakinan aneh dan sikap antisosial. Selain itu juga kecerdasan dan prestasi pendidikan yang rendah, rendahnya minat dan kegagalan di sekolah, berasal dari orang tua tunggal atau rumah tangga kurang harmonis, perceraian orang tua, dan paparan kekerasan dalam keluarga.

Faktor risiko dalam hubungan dengan orang dekat dalam keluarga atau teman meliputi kurangnya pemantauan dan pengawasan anak oleh orang tua, pendidikan disiplin orangtua yang terlalu keras, kendur atau bahkan tidak konsisten, keterikatan emosional antara orang tua dan anak yang rendah, keterlibatan orang tua dalam kegiatan anak yang rendah, dan orangtua terlibat dalam penyalahgunaan obat atau kriminalitas. Selain itu juga tingkat pendidikan dan pendapatan keluarga yang rendah.

Faktor risiko dalam komunitas dan masyarakat yang lebih luas meliputi  rendahnya tingkat kohesi sosial dalam masyarakat dan pasokan senjata atau obat-obatan terlarang, tidak adanya alternatif non-kekerasan untuk menyelesaikan konflik antar anak, ketimpangan pendapatan yang tinggi, perubahan sosial dan demografi yang cepat, urbanisasi, dan kualitas pemerintahan suatu negara. Dalam hal ini meliputi penegakan hukum dan kebijakan pemerintah di bidang pendidikan dan perlindungan sosial.

Program pencegahan kekerasan yang sudah terbukti efektif, juga dapat dibaca pada Global status report on violence prevention 2014. Pencegahan tersebut meliputi program keterampilan dan pembangunan sosial untuk membantu anak mengelola kemarahan, menyelesaikan konflik, dan mengembangkan keterampilan sosial yang diperlukan untuk memecahkan masalah, kurikulum sekolah berbasis program pencegahan anti-intimidasi, dan kurikulum prasekolah agar anak memiliki kemampuan akademik dan sosial sejak usia dini. Dalam tataran hukum dan aspek keamanan, dapat berupa program untuk mengurangi akses anak ke alkohol, obat dan rokok, yaitu melalui peningkatan pajak dan pengurangan jumlah ‘outlet’ penjualan. Yang terakhir, meningkatkan pengelolaan lingkungan, misalnya mengurangi kesempatan anak berkerumun dan mengurangi konsentrasi kemiskinan di suatu wilayah, dengan membantu keluarga pindah ke lingkungan sosial yang lebih baik.

Program pencegahan yang sudah terbukti berhasil di dalam Global status report on violence prevention 2014, layak kita contoh, juga dengan mengkoreksi faktor risiko yang ada untuk terjadinya kekerasan pada anak. Tentunya agar kasus pembunuhan Engelin di Bali tidak terulang dan anak-anak di sekitar kita, terbebas dari ancaman kekerasan dan pembunuhan.

Penulis:

fx. wikan indrarto

dokter spesialis anak di RS Bethesda Yogyakarta,
alumnus S3 FK UGM

Donor Darah

HARI DONOR DARAH SEDUNIA 2015

Hari Donor Darah Sedunia (World Blood Donor Day) diadakan setiap tanggal 14 Juni, untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya donor darah dan untuk mengapresiasi pendonor darah sukarela, dalam menyelamatkan nyawa pasien. Tema kampanye Hari Donor Darah Sedunia 2015 adalah “terima kasih karena telah menyelamatkan hidup saya”. Apa yang sebaiknya diketahui?
Transfusi darah telah terbukti mampu menyelamatkan nyawa dan meningkatkan derajad kesehatan masyarakat, tetapi masih banyak pasien yang membutuhkan transfusi, tidak memiliki akses yang tepat terhadap darah yang aman. Tidak tersedianya darah telah menyebabkan berbagai kematian pasien dan banyak pasien lain akan menderita sakit lebih lama. Pada umumnya transfusi digunakan untuk mendukung berbagai perawatan medis. Di negara berpenghasilan tinggi, pasien yang paling sering ditransfusi adalah lansia atau lebih dari 65 tahun, yaitu 76% dari semua proses transfusi. Transfusi darah pada umumnya digunakan untuk perawatan suportif dalam operasi bedah jantung, operasi transplantasi organ, trauma masif, dan terapi untuk kanker solid dan hematologis. Sebaliknya, hampir 65% dari transfusi darah di negara berpenghasilan rendah diberikan kepada anak balita. Seperti di Indonesia, transfusi darah digunakan lebih sering untuk manajemen komplikasi yang berhubungan dengan kehamilan, persalinan, malaria dengan anemia berat, dan luka terkait trauma.

WHO mendesak semua negara untuk mengembangkan sistem donor darah nasional berdasarkan azas sukarela dan tidak dibayar, untuk mencapai tujuan swasembada dalam darah dan produk darah yang aman. Terdapat sekitar 108 juta unit darah yang disumbangkan secara global setiap tahun, yang hampir 50% dikumpulkan di negara berpenghasilan tinggi, yang ditinggali hanya 20% populasi dunia. Pasokan darah yang cukup, dapat diandalkan, dan aman didapatkan dari pendonor darah sukarela yang tidak dibayar. Darah dari pendonor yang teratur, sukarela, dan tidak dibayar juga darah yang paling aman dari risiko infeksi yang ditularkan melalui darah. Darah yang disumbangkan harus selalu diperiksa akan adanya kuman HIV, hepatitis B, hepatitis C dan sifilis, sebelum digunakan untuk transfusi darah. Namun demikian, masih ada 25 negara yang tidak mampu melakukan penyaringan semua darah yang disumbangkan, untuk satu atau lebih jenis kuman tersebut. Selain itu, pemeriksaan ini tidak dapat diandalkan di banyak negara karena pasokan alat dan bahan pemeriksaan yang tidak teratur, kekurangan staf, alat pemeriksaan berkualitas buruk, atau kurangnya kompetensi petugas di laboratorium.

Pada tahun 2012, terdapat 73 negara yang telah mengumpulkan lebih dari 90% kebutuhan darah mereka dari donor darah sukarela, di antaranya 60 negara bahkan telah mampu mengumpulkan 100% pasokan darah dari pendonor darah sukarela. Sebaliknya di 72 negara, hanya kurang dari 50% pasokan darah yang berasal dari pendonor sukarela, sehingga banyak pasokan darah masih tergantung pada pendonor keluarga pasien, impor dan pendonor yang harus dibayar. Tingkat donor darah rata-rata 9 kali lebih besar di negara berpenghasilan tinggi daripada di negara berpenghasilan rendah. Sekitar 10.000 pusat darah donor di 168 negara berhasil mengumpulkan total 83 juta sumbangan darah. Sumbangan darah tahunan rata-rata per pusat darah donor adalah 15.000 di negara berpenghasilan tinggi, dibandingkan dengan hanya 3.100 di negara berpenghasilan menengah dan rendah. Hal ini disebabkan karena ada lebih banyak warga di negara berpenghasilan tinggi telah sadar dan rela menyumbangkan darah mereka, dibandingkan warga di negara lain. Tingkat donor darah di negara berpenghasilan tinggi adalah 36,8 sumbangan per 1.000 orang warga. Sebaliknya, hanya 11,7 sumbangan per 1.000 orang di negara berpenghasilan menengah, bahkan hanya 3,9 sumbangan per 1.000 di negara berpenghasilan rendah.

Proses pemisahan darah ke berbagai komponen darah, memungkinkan satu unit kantong darah donor dapat digunakan untuk beberapa pasien, dengan memberikan pasien hanya komponen darah yang diperlukan saja. Sekitar 95% darah yang dikumpulkan di negara berpenghasilan tinggi, 80% di negara berpenghasilan menengah, dan 45% di negara berpenghasilan rendah, sudah dapat dipisahkan menjadi komponen-komponen darah. Perlu juga diketahui, bahwa sering kali transfusi darah dilakukan, ketika pengobatan alternatif sederhana dan aman, mungkin sama efektifnya, sehingga sebenarnya transfusi darah pada kasus tersebut tidak diperlukan. Transfusi darah yang tidak perlu, justru akan meningkatkan risiko infeksi, seperti HIV dan hepatitis, dan reaksi transfusi yang merugikan pasien.
Data menunjukkan bahwa secara global 30% darah diberikan oleh pendonor wanita, tetapi pada 20 dari 111 negara hanya kurang dari 10% sumbangan darah, yang diberikan oleh pendonor wanita. Peningkatan 8,6 juta sumbangan darah dari pendonor darah sukarela pada periode 2004-2012 telah dilaporkan oleh 162 negara. Kenaikan tertinggi pendonor darah sukarela terjadi di Asia Tenggara (78%), termasuk Indonesia, dan Afrika (51%).

Momentum Hari Donor Darah Sedunia (World Blood Donor Day) setiap tanggal 14 Juni dengan slogan ‘Give freely, give often. Blood donation matters’, akan memotivasi pendonor darah rutin untuk terus memberikan darahnya. Selain itu, juga memotivasi kaum muda untuk mulai melakukannya. WHO menargetkan tahun 2020 semua negara mampu mendapatkan 100% pasokan darah dari pendonor darah sukarela yang tidak dibayar. Sudahkah Anda menjadi pendonor darah sukarela?

Penulis: fx. wikan indrarto

dokter spesialis anak di RS Bethesda Yogyakarta
Alumnus S3 UGM

WWA 7

wwa 7 logo

Optimizing care of children with special needs

HARI SABTU, 6 JUNI 2015

SIMPOSIUM 1

  1. HAK DAN PERLINDUNGAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS UNTUK HIDUP SEHAT DAN BERKUALITAS: SUDAHKAN KITA PENUHI?
    Prof. dr. Sunartini Hapsara, Ph.D, Sp.AK
    Download Materi
  2. DIAGNOSIS GANGGUAN PEMUSATAN PERHATIAN/HIPERAKTIFITAS
    dr. Mei Neni Sitaresmi, Ph.D, Sp.AK
    Download Materi
  3. EPILEPSI PADA ADHD: DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
    Prof. Dr. dr. Elisabeth S. Herini, Sp.AK
    Download Materi
  4. AKSEPTABILITAS VAKSIN ROTAVIRUS
    dr. Mei Neni, Ph.D, Sp.AK
    Download Materi

SIMPOSIUM 2

  1. TATALAKSANA GANGGUAN PEMUSATAN PERHATIAN/HIPERAKTIFITAS
    dr. Retno Sutomo, Ph.D, Sp.AK
    Download Materi
  2. INTERVENSI NUTRISI PADA ANAK DENGAN ADHD
    dr. Endy P. Prawirohartono, MPH, Sp.AK
    Download Materi
  3. TERAPI PERILAKU PADA GANGGUAN PEMUSATAN PERHATIAN/ HIPERAKTIFITAS
    Dr. Indria Laksmi Gamayanti, M.Psi
    Download Materi
  4. PENDEKATAN TERAPI SENSORI INTEGRASI PADA GANGGUAN PEMUSATAN PERHATIAN DAN HIPERAKTIFITAS
    dr. Luh Karunia Wahyuni, Sp.RM
    Download Materi

 

HARI MINGGU, 7 JUNI 2015

SIMPOSIUM 3

  1. GLOBAL DEVELOPMENTAL DELAY
    Prof. dr. Djauhar Ismail, Ph.D, Sp.AK
    Download Materi
  2. DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA HIPOTIROID KONGENITAL
    dr. Annang Giri Moelyo, M.Kes, Sp.A
    Download Materi
  3. IDENTIFIKASI DAN EVALUASI ANAK DENGAN KETERLAMBATAN GERAK (MOTOR DELAYS)
    dr. Mei Neni Sitaresmi, Ph.D, Sp.AK
    Download Materi

SIMPOSIUM 4

  1. DETEKSI DINI, DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA CEREBRAL PALSY
    dr. Agung Triono, Sp.A
    Download Materi
  2. MASALAH DAN TATALAKSANA NUTRISI PADA ANAK DENGAN CEREBRAL PALSY
    dr. Neti Nurani, M.Kes, Sp.AK
    Download Materi
  3. PENDEKATAN KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI PADA ANAK DENGAN PALSI SEREBRAL
    dr. Luh Karunia Wahyuni, Sp.RM
    Download Materi
  4. PENATALAKSANAAN GANGGUAN PERKEMBANGAN PADA INFEKSI
    CMV KONGENITAL: LAPORAN KASUS
    dr. Muslikhah Yuni Farkhati, M.Sc, Sp.A
    Download Materi