world no tobacco day

HARI TANPA TEMBAKAU SEDUNIA

Setiap tanggal 31 Mei telah ditetapkan WHO sebagai ‘Hari Tanpa Tembakau Sedunia’ (World No Tobacco Day), untuk mengingatkan kembali besarnya  risiko terjadinya penyakit yang terkait dengan penggunaan tembakau. Selain itu, juga untuk penggalangan dukungan penuh atas kebijakan politik yang efektif, dalam mengurangi konsumsi tembakau. Tema tahun ini adalah Hentikan Perdagangan Gelap Produk Tembakau (Stop Illicit Trade In Tobacco Products). Apa yang sebaiknya kita ketahui?
Satu dari setiap 10 batang rokok yang dikonsumsi di seluruh dunia adalah illegal. Hal ini menyebabkan perdagangan ilegal produk tembakau menjadi masalah global utama dari berbagai perspektif, termasuk kesehatan, hukum, ekonomi, system pemerintahan dan korupsi. Industri tembakau dan kelompok kriminal internasionallah yang mendapat keuntungan dari perdagangan tembakau ilegal, tetapi masyarakat justru dirugikan karena meningkatnya biaya kesehatan dan keamanan. Banyak negara telah meratifikasi Protokol untuk Menghentikan Perdagangan Gelap Produk Tembakau (the Protocol to Eliminate Illicit Trade in Tobacco Products). Masih ada 40 negara yang harus meratifikasi atau menyetujui protokol tersebut agar menjadi hukum internasional. Menurut Pasal 33, protokol tersebut mengikat hanya pada negara yang bersangkutan. Protokol tersebut diadopsi pada tanggal 12 November 2012 di Seoul, Republik Korea, dan sejak saat itu terbuka untuk diratifikasi oleh berbagai negara.

Protokol baru ini bertujuan untuk menghilangkan segala bentuk perdagangan gelap produk tembakau dan memuat kebijakan untuk mencegah dan menangkal perdagangan gelap, melalui paket kebijakan nasional dan kerjasama internasional.
Para pihak terkait akan mengambil langkah-langkah untuk mengamankan rantai pasokan produk tembakau, dari hulu sampai hilir. Misalnya, keharusan lisensi untuk pembuatan, impor, dan ekspor produk tembakau dan peralatan manufaktur, meliputi mesin yang digunakan untuk memproduksi produk tembakau. Setiap negara juga akan membentuk sistem dan melakukan pelacakan nasional atau regional, untuk semua produk tembakau yang diproduksi di atau diimpor ke wilayahnya. Sistem nasional dan regional akan melakukan pelacakan global dan menghasilakan “global information-sharing focal point” di Sekretariat Konvensi. Melalui fasilitas global ini, setiap negara akan dapat mengakses dan menyelidiki perdagangan gelap produk tembakau yang dibuat di atau diimpor ke salah satu negara lainnya. Langkah-langkah lain untuk mengendalikan rantai pasokan tembakau, termasuk penjualan lewat internet serta penjualan di zona bebas dan transit internasional. Negara akan menindak sejumlah pelaku pelanggar hukum, termasuk pembuatan atau penyelundupan produk tembakau gelap, dengan sanksi yang efektif, proporsional dan bersifat larangan, sedangkan produk tembakau yang disita akan dimusnahkan.

Selain protokol tersebut, kita juga perlu mengenal Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC atau Framework Convention on Tobacco Control), yang merupakan perjanjian internasional pertama yang dikoordinasikan oleh WHO. FCTC adalah perjanjian berbasis bukti yang menegaskan kembali, hak semua orang untuk mendapatkan derajad kesehatan yang tertinggi. FCTC merupakan pergeseran paradigma dalam mengembangkan strategi regulasi untuk mengatasi zat adiktif; yang berbeda dengan perjanjian pengawasan obat sebelumnya, karena menegaskan pentingnya strategi pengurangan permintaan dan pasokan. FCTC dikembangkan dalam menanggapi globalisasi epidemi tembakau. Penyebaran epidemi tembakau difasilitasi melalui berbagai faktor yang kompleks dengan efek lintas batas, termasuk liberalisasi perdagangan dan investasi asing. Faktor-faktor lain seperti pemasaran global, iklan rokok transnasional, promosi dan sponsor, dan gerakan internasional penyelundupan dan rokok palsu, juga telah memberikan kontribusi terhadap peningkatan epidemi di penggunaan tembakau.

Ketentuan utama tentang pengurangan permintaan (demand reduction) tembakau dalam FCTC artikel 6-14, terdiri dari pengaturan harga (price) dan bukan harga (non-price). Pengaturan harga juga meliputi peningkatan pajak untuk mengurangi permintaan tembakau. Pengaturan bukan harga, meliputi perlindungan warga dari paparan asap tembakau, pengaturan isi produk tembakau, kewajiban pengungkapan produk tembakau pada kemasan dan pelabelan produk tembakau. Juga pendidikan, komunikasi, pelatihan dan peningkatan kesadaran masyarakat. Selain itu, juga pembatasan iklan tembakau, promosi dan sponsorship, yang diperkuat dengan langkah pengurangan ketergantungan tembakau dan penghentian merokok. Ketentuan utama tentang pengurangan pasokan (supply reduction) dalam FCTC artikel 15-17 meliputi pengendalian perdagangan gelap produk tembakau, larangan penjualan ke dan oleh anak di bawah umur, serta dukungan untuk kegiatan alternatif yang bernilai ekonomis.

FCTC disepakati pada 16-22 Juni 2003 di Jenewa, dan setelah itu dibahas selama 1 tahun di Markas Besar PBB di New York, 30 Juni 2003-29 Juni 2004. Perjanjian tersebut memiliki 168 negara dan organisasi penandatangan, termasuk Masyarakat Eropa, yang menjadikannya salah satu perjanjian yang paling banyak disepakati dalam sejarah PBB. Negara anggota yang telah menandatangani Konvensi, menunjukkan bahwa mereka akan berusaha dengan itikad baik untuk meratifikasi, menerima, atau menyetujui hal itu, dan menunjukkan komitmen politik untuk tidak merusak tujuan yang ditetapkan di dalamnya. Negara yang ingin bergabung, karena tidak ikut menandatangani Konvensi pada 29 Juni 2004 lalu, dapat melakukannya dengan cara aksesi, yang merupakan satu langkah proses hokum yang setara dengan ratifikasi. Konvensi mulai berlaku pada 27 Februari 2005, atau 90 hari setelah disetujui oleh 40 Negara.

Sampai saat ini, Indonesia belum melakukan ratifikasi maupun aksesi atas konvensi FCTC dan Protokol untuk Menghentikan Perdagangan Gelap Produk Tembakau. Kita semua sebaiknya mendesak pemerintah dan anggota parlemen, untuk meratifikasi kedua protokol tersebut. Tanpa ratifikasi, bagaimana mungkin hari bebas tembakau (No Tobacco Day), dapat terjadi di sini?

ditulis oleh fx. wikan indrarto, dokter spesialis anak di RS Bethesda Yogyakarta
Alumnus S3 UGM