ATASI EPILEPSI

Resolusi saat penutupan Majelis Kesehatan Dunia (The World Health Assembly) ke 68 adalah tentang polusi udara dan epilepsi (strengthening care for epilepsy), dikeluarkan pada Selasa, 26 Mei 2015 di Jenewa, Swiss. Sekitar 50 juta orang di seluruh dunia mengalami epilepsi, sehingga menjadi salah satu penyakit sistem saraf pusat yang paling umum di dunia. Sekitar tiga perempat penderita epilepsi di negara berpenghasilan rendah dan menengah, tidak mendapatkan perawatan yang mereka butuhkan. Apa yang sebaiknya diketahui?

Epilepsi ditandai dengan kejang berulang, yaitu episode singkat gerakan spontan, yang mungkin melibatkan sebagian tubuh (parsial) atau seluruh tubuh (umum), dan kadang disertai dengan kehilangan kesadaran, fungsi kontrol usus atau kandung kemih. Episode kejang atau kekambuhan epilepsi terjadi pada saat aliran listrik statis yang berlebihan, dalam sel otak. Derajad kejang dapat bervariasi dari yang sangat ringan, seperti pengalihan perhatian singkat, sampai yang terberat saat otot tersentak kejang yang parah dan berkepanjangan. Kejang juga dapat bervariasi dalam frekuensi, dari kurang dari 1 per tahun sampai beberapa kali per hari. Satu kali kejadian kejang tidak berarti menderita epilepsi, karena 10% populasi dunia mengalami satu kali serangan kejang selama hidup mereka.

Epilepsi didefinisikan sebagai kejadian 2 kali atau lebih kejang tanpa penyebab (unprovoked seizures). Epilepsi adalah salah satu penyakit tertua yang diakui di dunia, pada log batu tahun 4000 SM. Ketakutan, kesalahpahaman, diskriminasi dan stigma sosial telah melingkupi epilepsi selama berabad-abad. Stigma ini masih saja terus terjadi di banyak negara sampai saat ini dan dapat berdampak pada kualitas hidup penderita dan keluarga mereka. Karakteristik kejang bervariasi dan tergantung di sisi otak mana gangguan pertama dimulai, dan seberapa jauh kelainan tersebut menyebar. Gejala sementara terjadi, seperti kehilangan kesadaran, gangguan gerakan, sensasi (termasuk penglihatan, pendengaran dan rasa), suasana hati, atau fungsi kognitif lainnya. Penderita epilepsi sering kali mengalami kesulitan mendaspatkan jaminan asuransi kesehatan dan jiwa, kehilangan kesempatan untuk mendapatkan lisensi mengemudi, dan hambatan untuk memasuki pekerjaan tertentu. Di banyak negara undang-undang mencerminkan tentang kesalahpahaman tentang epilepsi. Sebagai contoh di China dan India, epilepsi umumnya dipandang sebagai alasan untuk melarang atau membatalkan pernikahan. Di Inggris, hukum melarang orang dengan epilepsi untuk menikah, baru dicabut pada tahun 1970. Di Amerika Serikat, sampai tahun 1970-an, hukum melarang penderita epilepsy masuk ke restoran, bioskop, pusat rekreasi dan bangunan umum lainnya.

Epilepsi tidak menular dan jenis yang paling umum, yaitu 6 dari 10 orang epilepsi, disebut epilepsi idiopatik dan tidak memiliki penyebab yang dapat dipastikan. Sebaliknya, epilepsi yang diketahui penyebabnya disebut epilepsi sekunder, atau epilepsi simtomatik. Penyebab epilepsi sekunder dapat berupa kerusakan otak saat prenatal atau perinatal, misalnya hilangnya oksigen atau trauma selama kelahiran, berat badan bayi saat lahir rendah, kelainan bawaan atau kondisi genetik dengan malformasi otak, cedera kepala berat karena penyebab apapun, stroke yang mengurangi aliran oksigen ke sel otak, infeksi otak seperti meningitis, ensefalitis, neurocysticercosis, sindrom genetik tertentu, ataupun tumor otak.

Epilepsi sebenarnya dapat diobati dengan mudah dan harga terjangkau, dengan obat rutin harian yang harganya hanya US $ 5 per tahun. Sekitar 70% penderita epilepsi dapat berhasil diobati, yaitu kejang benar-benar dikontrol, dengan obat anti-epileptic (AED). Selanjutnya, setelah 2 sampai 5 tahun bebas kejang, obat dapat dihentikan secara bertahap, pada sekitar 70% anak dan 60% orang dewasa penderita epilepsi, tanpa terjadi kekambuhan berikutnya. Di negara berpenghasilan rendah dan menengah, sekitar tiga perempat penderita epilepsi tidak dapat menerima perawatan yang mereka butuhkan, yaitu terjadi kesenjangan pengobatan (treatment gap). Di banyak negara berpenghasilan rendah dan menengah, ketersediaan AED adalah rendah, yaitu ketersediaan rata-rata obat antiepilepsi generik di sektor publik kurang dari 50%. Hal ini dapat berperan sebagai penghalang penderita untuk mengakses pengobatan rutin.

Epilepsi idiopatik tidak dapat dicegah. Namun, beberapa langkah pencegahan dapat diterapkan untuk penyebab epilepsi sekunder. Yang pertama adalah mencegah cedera kepala, yang terbukti merupakan cara yang paling efektif untuk mencegah epilepsi pasca-trauma. Selain itu, juga perawatan perinatal yang memadai, telah dapat mengurangi kasus baru epilepsi yang disebabkan oleh trauma persalinan. Penggunaan obat dan metode lain untuk menurunkan suhu tubuh anak balita saat demam tinggi, juga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya kejang demam yang dapat berlanjut menjadi epilepsi. Infeksi sistem saraf pusat adalah penyebab tersering epilepsi di daerah tropis, di negara berpenghasilan rendah, dan menengah. Pembasmian parasit dalam lingkungan tempat tinggal dan pendidikan tentang cara untuk menghindari infeksi, juga merupakan metode efektif untuk mengurangi epilepsi, misalnya karena neurocysticercosis.

Epilepsi menyumbang 0,75% beban global penyakit, berdasarkan ukuran waktu hidup dalam tahun yang hilang karena kematian dini (years of life lost due to premature mortality), dan waktu hidup dalam tingkat kesehatan yang kurang baik (time lived in less than full health). Pada tahun 2012, epilepsi bertanggung jawab untuk sekitar 20,6 juta tahun yang hilang (DALY atau disability-adjusted life years). Epilepsi memiliki dampak ekonomi yang signifikan dalam hal kebutuhan kesehatan, kematian dini, dan produktivitas kerja yang hilang. Sebuah penelitian di India pada tahun 1998 menunjukkan, biaya per pasien untuk pengobatan epilepsi adalah setinggi 88,2% produk bruto nasional (GNP), dan biaya lain yang terkait epilepsi, termasuk biaya medis, perjalanan, dan kehilangan waktu bekerja, melebihi US $ 1,7 miliar per tahun. Meskipun dampak sosial bervariasi dari satu negara ke negara, diskriminasi dan stigma sosial yang melingkupi penderita epilepsi di seluruh dunia, justru sering lebih sulit diatasi daripada mengobtai kejang itu sendiri.

Pada tahun 1997 didirikan International League Against Epilepsy (ILAE) dan sejak itu melakukan kampanye global bertema “Out of Shadows”, untuk memberikan informasi yang lebih baik, meningkatkan kesadaran tentang epilepsi, dan memperkuat upaya publik dan swasta, untuk meningkatkan perawatan dan mengurangi dampak epilepsi. Selain itu, juga melakukan proyek percontohan yang mengembangkan model integrasi kontrol epilepsi dalam sistem kesehatan nasional, yang dilakukan di Ghana, Mozambik, Myanmar dan Vietnam.

Kita berharap Resolusi Majelis Kesehatan Dunia (The World Health Assembly) ke 68 tentang epilepsi (strengthening care for epilepsy), sejalan dengan kampanye “Out of Shadows”, untuk mengatasi epilepsi. Apakah hal itu sudah terjadi di Indonesia?

Sekian
Yogyakarta, 27 Mei 2015
fx. Wikan Indrarto
dokter spesialis anak di RS Bethesda Yogyakarta
Alumnus S3 UGM

world no tobacco day

HARI TANPA TEMBAKAU SEDUNIA

Setiap tanggal 31 Mei telah ditetapkan WHO sebagai ‘Hari Tanpa Tembakau Sedunia’ (World No Tobacco Day), untuk mengingatkan kembali besarnya  risiko terjadinya penyakit yang terkait dengan penggunaan tembakau. Selain itu, juga untuk penggalangan dukungan penuh atas kebijakan politik yang efektif, dalam mengurangi konsumsi tembakau. Tema tahun ini adalah Hentikan Perdagangan Gelap Produk Tembakau (Stop Illicit Trade In Tobacco Products). Apa yang sebaiknya kita ketahui?
Satu dari setiap 10 batang rokok yang dikonsumsi di seluruh dunia adalah illegal. Hal ini menyebabkan perdagangan ilegal produk tembakau menjadi masalah global utama dari berbagai perspektif, termasuk kesehatan, hukum, ekonomi, system pemerintahan dan korupsi. Industri tembakau dan kelompok kriminal internasionallah yang mendapat keuntungan dari perdagangan tembakau ilegal, tetapi masyarakat justru dirugikan karena meningkatnya biaya kesehatan dan keamanan. Banyak negara telah meratifikasi Protokol untuk Menghentikan Perdagangan Gelap Produk Tembakau (the Protocol to Eliminate Illicit Trade in Tobacco Products). Masih ada 40 negara yang harus meratifikasi atau menyetujui protokol tersebut agar menjadi hukum internasional. Menurut Pasal 33, protokol tersebut mengikat hanya pada negara yang bersangkutan. Protokol tersebut diadopsi pada tanggal 12 November 2012 di Seoul, Republik Korea, dan sejak saat itu terbuka untuk diratifikasi oleh berbagai negara.

Protokol baru ini bertujuan untuk menghilangkan segala bentuk perdagangan gelap produk tembakau dan memuat kebijakan untuk mencegah dan menangkal perdagangan gelap, melalui paket kebijakan nasional dan kerjasama internasional.
Para pihak terkait akan mengambil langkah-langkah untuk mengamankan rantai pasokan produk tembakau, dari hulu sampai hilir. Misalnya, keharusan lisensi untuk pembuatan, impor, dan ekspor produk tembakau dan peralatan manufaktur, meliputi mesin yang digunakan untuk memproduksi produk tembakau. Setiap negara juga akan membentuk sistem dan melakukan pelacakan nasional atau regional, untuk semua produk tembakau yang diproduksi di atau diimpor ke wilayahnya. Sistem nasional dan regional akan melakukan pelacakan global dan menghasilakan “global information-sharing focal point” di Sekretariat Konvensi. Melalui fasilitas global ini, setiap negara akan dapat mengakses dan menyelidiki perdagangan gelap produk tembakau yang dibuat di atau diimpor ke salah satu negara lainnya. Langkah-langkah lain untuk mengendalikan rantai pasokan tembakau, termasuk penjualan lewat internet serta penjualan di zona bebas dan transit internasional. Negara akan menindak sejumlah pelaku pelanggar hukum, termasuk pembuatan atau penyelundupan produk tembakau gelap, dengan sanksi yang efektif, proporsional dan bersifat larangan, sedangkan produk tembakau yang disita akan dimusnahkan.

Selain protokol tersebut, kita juga perlu mengenal Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC atau Framework Convention on Tobacco Control), yang merupakan perjanjian internasional pertama yang dikoordinasikan oleh WHO. FCTC adalah perjanjian berbasis bukti yang menegaskan kembali, hak semua orang untuk mendapatkan derajad kesehatan yang tertinggi. FCTC merupakan pergeseran paradigma dalam mengembangkan strategi regulasi untuk mengatasi zat adiktif; yang berbeda dengan perjanjian pengawasan obat sebelumnya, karena menegaskan pentingnya strategi pengurangan permintaan dan pasokan. FCTC dikembangkan dalam menanggapi globalisasi epidemi tembakau. Penyebaran epidemi tembakau difasilitasi melalui berbagai faktor yang kompleks dengan efek lintas batas, termasuk liberalisasi perdagangan dan investasi asing. Faktor-faktor lain seperti pemasaran global, iklan rokok transnasional, promosi dan sponsor, dan gerakan internasional penyelundupan dan rokok palsu, juga telah memberikan kontribusi terhadap peningkatan epidemi di penggunaan tembakau.

Ketentuan utama tentang pengurangan permintaan (demand reduction) tembakau dalam FCTC artikel 6-14, terdiri dari pengaturan harga (price) dan bukan harga (non-price). Pengaturan harga juga meliputi peningkatan pajak untuk mengurangi permintaan tembakau. Pengaturan bukan harga, meliputi perlindungan warga dari paparan asap tembakau, pengaturan isi produk tembakau, kewajiban pengungkapan produk tembakau pada kemasan dan pelabelan produk tembakau. Juga pendidikan, komunikasi, pelatihan dan peningkatan kesadaran masyarakat. Selain itu, juga pembatasan iklan tembakau, promosi dan sponsorship, yang diperkuat dengan langkah pengurangan ketergantungan tembakau dan penghentian merokok. Ketentuan utama tentang pengurangan pasokan (supply reduction) dalam FCTC artikel 15-17 meliputi pengendalian perdagangan gelap produk tembakau, larangan penjualan ke dan oleh anak di bawah umur, serta dukungan untuk kegiatan alternatif yang bernilai ekonomis.

FCTC disepakati pada 16-22 Juni 2003 di Jenewa, dan setelah itu dibahas selama 1 tahun di Markas Besar PBB di New York, 30 Juni 2003-29 Juni 2004. Perjanjian tersebut memiliki 168 negara dan organisasi penandatangan, termasuk Masyarakat Eropa, yang menjadikannya salah satu perjanjian yang paling banyak disepakati dalam sejarah PBB. Negara anggota yang telah menandatangani Konvensi, menunjukkan bahwa mereka akan berusaha dengan itikad baik untuk meratifikasi, menerima, atau menyetujui hal itu, dan menunjukkan komitmen politik untuk tidak merusak tujuan yang ditetapkan di dalamnya. Negara yang ingin bergabung, karena tidak ikut menandatangani Konvensi pada 29 Juni 2004 lalu, dapat melakukannya dengan cara aksesi, yang merupakan satu langkah proses hokum yang setara dengan ratifikasi. Konvensi mulai berlaku pada 27 Februari 2005, atau 90 hari setelah disetujui oleh 40 Negara.

Sampai saat ini, Indonesia belum melakukan ratifikasi maupun aksesi atas konvensi FCTC dan Protokol untuk Menghentikan Perdagangan Gelap Produk Tembakau. Kita semua sebaiknya mendesak pemerintah dan anggota parlemen, untuk meratifikasi kedua protokol tersebut. Tanpa ratifikasi, bagaimana mungkin hari bebas tembakau (No Tobacco Day), dapat terjadi di sini?

ditulis oleh fx. wikan indrarto, dokter spesialis anak di RS Bethesda Yogyakarta
Alumnus S3 UGM