Overdiagnosis

“Top 10 most-read articles by Pediatricians last month”, yaitu bulan September 2014 dapat dilihat pada  http://www.medscape.com/viewarticle. Salah satu yang menarik adalah tentang overdiagnosis yang dimuat di dalam jurnal “Pediatrics” dan dipublikasikan secara online pada 6 Oktober 2014. Apa yang sebaiknya diketahui?

Overdiagnosis dalam penanganan dokter pada pasien anak dapat menyebabkan tidak hanya kegagalan terapi, tetapi juga kerugian yang tidak perlu. Makalah ini ditulis oleh Eric R. Coon, MD, dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak di University of Utah School of Medicine di Salt Lake City. Diperlukan penelitian lebih lanjut tentang potensi bahaya, manfaat, dan frekuensi kejadian overdiagnosis. Overdiagnosis definisikan sebagai diagnosis yang akurat dari sebuah penyakit, tetapi pemeriksaan penunjang medik yang dilakukan, tidak bermanfaat bagi pasien. Sebaiknya berhati-hati dalam membedakannya dengan misdiagnosis dan overtreatment.

Overdiagnosis pada populasi dewasa telah diketahui secara luas, tetapi belum banyak diteliti pada pasien anak. Gagasan bahwa diagnosis yang akurat dapat ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang yang lebih selektif, bertentangan dengan pendapat konvensional bahwa semakin banyak pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada seorang pasien, tentu akan semakin baik. Overdiagnosis merugikan secara fisik, psikologis, ekonomis, dan biaya kesempatan (“opportunity costs”). Paradigma kepastian atau “intolerance of uncertainty” adalah salah satu faktor pendorong terjadinya overdiagnosis, bersama dengan budaya belajar di fakultas kedokteran dengan strategi pembelajaran berbasis masalah, berperan penting mendorong terbentuknya paradigma kepastian diagnosis, yaitu dengan “a shotgun approach” yang berupa pemeriksaan penunjang medik, untuk sebuah diagnosis penyakit. Penyebab lainnya, termasuk insentif sistem seperti bonus untuk dokter pengirim sebuah pemeriksaan penunjang medik, pengaruh industri alat kesehatan, dan paradigma kurang bijak “bahwa penggunaan teknologi kedokteran untuk mendeteksi penyakit, selalu bermanfaat.”

Diperlikan penelitian yang berfokus pada frekuensi relatif overdiagnosis, rasio manfaat potensial dari sebuah diagnosis yang tegak, potensi bahaya dari overdiagnosis, dan jumlah pemborosan penggunaan sumber daya yang dihasilkan dari setiap overdiagnosis.

Ketidakpastian umum dalam bidang pediatri adalah bukti dasar sebuah diagnosis tidak selalu kuat. Pada hal, baik orang tua maupun dokter sebenarnya merasa nyaman dengan ketidakpastian tersebut, sehingga cukup sering hanya melakukan evaluasi lanjutan atau terapi simptomatis yang umumnya lebih baik atau lebih aman, dibandingkan dengan melakukan intervensi atau pemeriksaan invasif. Orangtua perlu memahami bahwa beberapa pemeriksaan penunjang medik kadang-kadang dapat berbahaya atau menimbulkan sebuah kehilangan, apalagi bila pemeriksaan tersebut relatif terlalu banyak. “Overtesting” tersebut dapat menyebabkan “false-positif” dan atau “overdiagnosis”. Dengan demikian, diperlukan komunikasi yang terbuka dengan orangtua dan keluarga, tentang kontribusi suatu hasil pemeriksaan penunjang medik dan bagaimana hasil pemeriksaan ini digunakan, semata-mata akan menguntungkan pasien, bahkan mampu untuk mengurangi overdiagnosis.

“Bahaya utama dari overdiagnosis adalah menyebabkan anak harus mengkonsumsi obat yang sebenarnya tidak akan membantunya,” kata Gabrielle Carson, seorang psikiater anak dan profesor psikiatri dan pediatri, Stony Brook University School of Medicine, New York. Hanya 10% dari resep obat untuk anak yang sebenarnya bermanfaat dan perlu dilanjutkan. Dalam prakteknya di Long Island, New York, jika dokter terlalu banyak pasien dan memeriksanya secara cepat, dapat berpotensi menyebabkan “over-, mis-, and underdiagosis”.

Reformasi sistem kesehatan dengan penghapusan insentif atau bonus untuk pemeriksaan penunjang medik yang tidak perlu, dapat membantu menurunkan overdiagnosis. Selain itu, sistem pelayanan kesehatan harus bergerak menjauh dari paradigma ‘fee-for-service’, yaitu penjamin biaya finansial tidak boleh lagi dipengaruhi oleh jumlah pemeriksaan penunjang medik dan tindakan intervensi medis, agar mengurangi peluang overdiagnosis. Sejak diberlakukannya sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada 1 Januari 2014 yang lalu, reformasi sistem kesehatan telah dilakukan di seluruh Indonesia, dengan penjamin biaya oleh BPJS Kesehatan.

‘Overdiagnosis’ harus kita pahami untuk dicegah, agar pelayanan kesehatan untuk pasien anak dapat menjangkau seluruh anak Indonesia (universal health coverage), oleh BPJS Kesehatan sebagai penjaminan biaya.

ditulis oleh:

fx. wikan iondrarto, dokter spesialis anak di RS Bethesda Yogyakarta
Catatan : dimuat di semijurnal Farmasi dan Kedokteran ‘Ethical Digest’, no 131, tahun XI, Januari 2015.