Penyerahan Bantuan Bencana

Penyerahan Bantuan Bencana Longsor di Banjarnegara dan Panti Asuhan

Sie Hubungan Masyarakat dan Kesejahteraan Anggota IDAI Cabang DIY, diwakili oleh dr lubaik SpA,MSc,pada tanggal 8 Juli 2015 menyerahkan bantuan bencana tanah longsor di Banjarnegara dalam bentuk uang sebanyak Rp.5.000.000 (lima juta rupiah). Diterima oleh dr.Nur Jatmiko Susanti, kepala puskesmas Pagedongan didampingi drg. Permadi Suratman M.Kes, TRC bencana dinas kesehatan Banjarnegara.

Penyerahan Bantuan Bencana

Penyerahan Bantuan Bencana

Bantuan diwujudkan dalam bentuk perlengkapan sekolah siswa SD/MI siswa kurang mampu di Kecamatan Pagedongan, daerah bencana longsor.

Bantuan bencana longsor Banjarnegara

Bantuan bencana longsor Banjarnegara

Bantuan bencana longsor Banjarnegara

Bantuan bencana longsor Banjarnegara

Selain bantuan bencana longsor di Banjarnegara, IDAI Cabang DIY juga memberikan bantuan kepada Panti Asuhan Muadz bin Jabal dan Panti Asuhan Muhammadiyah Putri Pakem

Penyerahan Bantuan ke Panti Asuhan Muadz bin Jabal

Penyerahan Bantuan ke Panti Asuhan Muadz bin Jabal

Penyerahan Bantuan ke Panti Asuhan Putri Muhammadiyah Pakem

Penyerahan Bantuan ke Panti Asuhan Putri Muhammadiyah Pakem

 

MERS-CoV

Sindrom saluran pernafasan dari kawasan Timur Tengah adalah penyakit infeksi virus pernapasan yang disebabkan oleh corona virus (Middle East respiratory syndrome atau MERS-CoV), yang pertama kali diidentifikasi di Kerajaan Arab Saudi pada tahun 2012. Corona virus adalah virus yang dapat menyebabkan penyakit mulai dari yang paling ringan dengan tidak ada gejala (asimptomatik), flu biasa yang ringan, sampai yang paling berat yaitu Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) yang berat dan mematikan. Apa yang sebaiknya diketahui?

Gejala klinis MERS-CoV pada umumnya demam, batuk, dan sesak napas. Pneumonia atau radang paru-paru adalah kondisi yang umum, tetapi tidak selalu terjadi. Gejala gastrointestinal, termasuk diare, juga sering dilaporkan. Penyakit yang parah dapat menyebabkan gagal napas, yang membutuhkan ventilasi mekanis maupun elektrik, dan perawatan di unit perawatan intensif (ICU). Virus ini tampaknya menyebabkan penyakit yang lebih parah pada orang tua, orang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah, dan orang dengan penyakit kronis seperti kanker, penyakit paru-paru kronis dan diabetes. Sekitar 36% pasien MERS-CoV dilaporkan telah meninggal.

MERS-CoV adalah penyakit zoonosis yaitu penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia. Asal-usul virus saat ini tidak sepenuhnya dipahami, tetapi menurut analisis genom virus yang berbeda, diyakini bahwa virus itu berasal dari kelelawar dan ditularkan ke unta. Meskipun sebagian besar kasus saat ini diduga merupakan infeksi dari manusia ke manusia, tetapi unta cenderung menjadi sumber infeksi dari hewan kepada manusia. Namun, peran unta yang tepat pada proses penularan virus dan rute infeksi yang tepat belum dapat diketahui. Virus tampaknya tidak menular dengan mudah dari orang ke orang, kecuali ada kontak dekat, seperti yang terjadi saat petugas RS memberikan pelayanan kepada pasien yang tidak menggunakan alat pelindung diri yang memadai. Ada kelompok kasus di areal fasilitas kesehatan, di mana penularan dari manusia ke manusia tampaknya lebih mungkin, terutama ketika pencegahan dan pengendalian infeksi di areal tersebut, belum menjadi praktek yang lengkap. Sejauh ini, tidak ada laporan tentang transmisi pada masyarakat luas yang berkelanjutan, telah dilaporkan.

Strain MERS-CoV yang identik dengan strain manusia telah diisolasi dari unta di beberapa negara di kawasan Timur Tengah, termasuk Mesir, Oman, Qatar, dan Arab Saudi, di mana sebagian besar kasus (> 85%) telah dilaporkan sejak 2012. Beberapa kasus telah dilaporkan di luar Timur Tengah, misalnya di Republik Korea (Selatan). Sebagian besar infeksi ini diyakini telah terjadi saat penderita berada di Timur Tengah, dan kemudian diekspor luar daerah. Wabah yang sedang berlangsung di Korea adalah wabah terbesar di luar Timur Tengah.
Tidak ada vaksin atau pengobatan tertentu yang saat ini tersedia. Pengobatan  hanya bersifat suportif dan berdasarkan kondisi klinis ataupun keluhan pasien. Tindakan pencegahan umum, ditujukan kepada pengunjung peternakan, pasar, lumbung makanan ternak, atau tempat lain di mana ada unta dan binatang lainnya. pengunjung harus meningkatkan kebersihan umum, termasuk mencuci tangan secara teratur sebelum dan setelah menyentuh hewan, dan harus menghindari kontak dengan hewan yang sakit. Konsumsi produk hewan mentah atau setengah matang, termasuk susu dan daging, membawa risiko tinggi infeksi dari berbagai organisme yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia, termasuk virus ini. Produk hewan yang diproses dengan tepat melalui pasteurisasi, sebenarnya telah aman untuk dikonsumsi, tetapi juga harus disajikan dengan hati-hati, untuk menghindari kontaminasi silang dengan makanan mentah. Daging dan susu unta adalah produk bergizi yang dapat terus dikonsumsi setelah proses pasteurisasi, dimasak, atau diproses dengan suhu panas lainnya.
Sampai saat kelak lebih banyak diketahui tentang MERS-CoV, untuk saat ini penderita diabetes, gagal ginjal, penyakit paru kronis, dan gangguan sistem kekebalan, dan anak balita dianggap berisiko tinggi terkena infeksi MERS-COV. Orang tersebut harus menghindari kontak dengan unta, kencing unta, minum susu mentah unta, atau makan daging unta yang belum dimasak dengan benar.
Penularan virus telah terjadi di fasilitas pelayanan kesehatan di beberapa negara, termasuk di Korea, dari pasien ke petugas kesehatan dan antar pasien sebelum MERS-CoV didiagnosis. Tidak selalu mungkin untuk mengidentifikasi pasien dengan MERS-CoV pada tahap awal karena gejala dan gambaran klinis lainnya mungkin tidak spesifik. Langkah-langkah pencegahan dan pengendalian infeksi sangat penting untuk mencegah kemungkinan penyebaran MERS-CoV di fasilitas kesehatan. Fasilitas yang menyediakan perawatan untuk pasien yang diduga atau dikonfirmasi terinfeksi MERS-CoV, seperti RSPI Dr. Soelianti Soeroso di Jakarta, harus mengambil tindakan yang tepat untuk mengurangi risiko penularan virus dari pasien ke pasien lain, petugas kesehatan, atau pengunjung RS. Petugas kesehatan harus dididik dan dilatih secara berulang. dalam pencegahan dan pengendalian infeksi dan harus menyegarkan keterampilan tersebut secara teratur.
Sampai saat ini, tidak ada pembatasan untuk memasuki wilayah Timur Tengah dan Korea Selatan terkait dengan MERS-CoV. Nemun demikian, tindakan pencegahan yang lengkap, sebaiknya diketahui dan dilakukan dengan baik. Sudahkah kita siap?

Penulis: fx. wikan indrarto

dokter spesialis anak di RS Bethesda Yogyakarta, alumnus S3 UGM

hepatitis day

HARI HEPATITIS DUNIA – 28 JULI 2015

Pada Hari Hepatitis Sedunia, 28 Juli 2015, WHO mendesak tindakan global untuk mencegah infeksi dan kematian karena hepatitis. Tanggal 28 Juli dipilih untuk menghormati ulang tahun pemenang hadiah Nobel bidang kedokteran, Profesor Baruch Samuel Blumberg, penemu virus hepatitis B dan pengembang vaksin hepatitis B pertama. Tema Hari Hepatitis Sedunia 2015 adalah ‘Prevent hepatitis. Act now!’ Apa yang sebaiknya diketahui tentang hepatitis B?

Virus Hepatitis B (VHB) adalah virus yang menyerang hati dan dapat menyebabkan penyakit hepatitis, baik akut dan kronis. Virus ini ditularkan melalui kontak dengan darah atau cairan tubuh lain, dengan orang yang terinfeksi. Diperkirakan 240 juta orang secara global, terinfeksi VHB dan menjadi hepatitis B kronis. Sekitar 780.000 orang meninggal setiap tahun karena infeksi VHB dan 650.000 karena sirosis dan kanker hati, sebagai akibat hepatitis B kronis, dan 130.000 karena hepatitis B akut. Selain  itu, Hepatitis B adalah risiko pekerjaan sangat penting bagi petugas kesehatan.

Di daerah endemis tinggi, seperti Indonesia, VHB ini paling sering menyebar dari ibu ke bayi saat lahir (transmisi perinatal), atau melalui transmisi horizontal (paparan darah yang terinfeksi), terutama dari anak yang terinfeksi kepada anak yang tidak terinfeksi selama 5 tahun pertama kehidupan. VHB juga disebarkan oleh paparan perkutan atau mukosa dengan darah yang terinfeksi dan berbagai cairan tubuh, serta melalui air liur, haid, vagina, dan cairan mani. Penularan VHB dapat juga terjadi dengan berhubungan seks, penggunaan (kembali) jarum suntik, baik pada fasilitas pelayanan kesehatan atau di antara pengguna narkoba suntik. Bahkan infeksi VHB dapat terjadi selama prosedur medis, bedah dan gigi, tato, atau melalui penggunaan pisau cukur dan benda serupa yang terkontaminasi dengan darah yang terinfeksi VHB.

Kemungkinan kelanjutan infeksi VHB menjadi kronis, tergantung pada usia berapa infeksi tersebut terjadi. Anak kurang dari 5 tahun yang terinfeksi VHB adalah yang paling mungkin untuk berkembang menjadi infeksi kronis. Data menunjukkan bahwa, perkembangan menjadi infeksi kronis terjadi pada 80-90% bayi yang terinfeksi selama tahun pertama kehidupan dan 30-50% anak yang terinfeksi sebelum usia 6 tahun. Sebaliknya, hanya <5% orang dewasa sehat akan menjadi hepatitis B kronis dan hanya 20-30% orang dewasa dengan hepatitis B kronis akan berlanjut menjadi sirosis dan atau kanker hati. Lebih dari 90% orang dewasa sehat yang terinfeksi VHB, akan pulih secara alami dalam tahun pertama.

Diagnosis laboratorium untuk infeksi VHB berfokus pada deteksi adanya antigen permukaan VHB atau HBsAg. Infeksi VHB akut ditandai dengan adanya HBsAg dan antibodi immunoglobulin M (IgM) terhadap antigen inti atau HbcAg, keduanya positif. Selama fase awal infeksi, juga seropositif untuk antigen e VHB atau HbeAg, yang merupakan penanda replikasi virus tingkat tinggi. Dengan demikian, HBeAg yang positif menunjukkan bahwa darah dan cairan tubuh dari orang tersebut yang amat sangat menular. Sebaliknya, infeksi VHB kronis ditandai dengan HBsAg yang tetap positif selama minimal 6 bulan, dengan atau tanpa bersamaan HBeAg. HBsAg yang tetap positif adalah penanda utama risiko untuk berkembang menjadi penyakit hati kronis atau sirosis dan kanker hati atau karsinoma hepatocellullar, di kemudian hari.

Tidak ada pengobatan khusus untuk hepatitis B akut. Oleh karena itu, perawatan ditujukan untuk menjaga kenyamanan pasien dan keseimbangan gizi yang memadai, termasuk penggantian cairan yang hilang karena muntah dan diare.
Pengobatan menggunakan suntikan interferon, dapat dipertimbangkan pada beberapa kasus, namun penggunaan rutin kurang layak, karena biaya sangat mahal dan efek samping yang signifikan, sehingga membutuhkan pemantauan yang lebih berhati-hati.

WHO merekomendasikan bahwa semua bayi seharusnya menerima vaksin hepatitis B dosis awal (HB 0) sesegera mungkin, sebaiknya dalam waktu 24 jam setelah lahir. Dosis awal seharusnya juga  diikuti oleh 2 atau 3 dosis.  Vaksinasi HB lengkap menginduksi tingkat antibodi pelindung pada lebih dari 95% bayi, anak dan dewasa muda. Perlindungan berlangsung minimal 20 tahun dan mungkin bahkan seumur hidup. Dengan demikian, penguat vaksinasi atau booster tidak rekomendasikan. Sebaliknya, semua orang yang sebelumnya tidak divaksinasi, harus menerima vaksin, jika mereka tinggal di wilayah dengan endemisitas rendah atau menengah. Kelompok berisiko tinggi juga harus divaksinasi, termasuk orang yang sering membutuhkan darah atau produk darah, dialisis, transplantasi organ padat, penghuni penjara, pengguna narkoba suntik, kontak rumah tangga dan seksual dengan infeksi VHB kronis, petugas kesehatan yang mungkin terkena darah dan produk darah melalui pekerjaan mereka, dan wisatawan yang akan pergi ke daerah endemik.

Vaksin ini memiliki catatan yang sangat baik dari segi keamanan dan efektivitas. Sejak tahun 1982, lebih dari 1 miliar dosis vaksin hepatitis B telah digunakan di seluruh dunia, dan telah mengurangi tingkat infeksi kronis menjadi kurang dari 1% di antara anak yang diimunisasi. Pada tahun 2013, sebanyak 183 negara telah memasukkan vaksinasi hepatitis B sebagai bagian dari program vaksinasi nasional dan 81% anak sudah menerima 3 dosis vaksin hepatitis B. Prestasi ini merupakan peningkatan besar dibandingkan dengan hanya 31 negara pada tahun 1992, saat Majelis Kesehatan Dunia mengesahkan vaksinasi global melawan hepatitis B. Selain itu, pada 2013 sebanyak 93 negara telah memprogramkan vaksin hepatitis B dosis lahir (HB 0), termasuk di Indonesia.

Pada bulan Maret 2015, WHO menerbitkan pedoman penanganan infeksi hepatitis B kronis. Rekomendasinya adalah mempromosikan penggunaan metode pemeriksaan diagnostik non-invasif sederhana, untuk menilai stadium penyakit hati dan kelayakan untuk pengobatan. Memprioritaskan pengobatan hepatitis berat dan paling berisiko kematian. Yang terakhir, merekomendasikan penggunaan obat tenofovir dan entecavir pada pasien dewasa, dan entecavir pada pasien anak, sebagai pengobatan hepatitis lini pertama. Selain itu, juga pengobatan untuk sirosis seumur hidup dan pemantauan rutin untuk perkembangan penyakit, toksisitas obat, dan deteksi dini kanker hati.

Momentum Hari Hepatitis Sedunia 28 Juli 2015 ini mengingatkan kita semua, agar segera melakukan pencegahan (‘Prevent hepatitis. Act now!’) dengan mempromosikan vaksinasi, sebagai tindakan pencegahan hepatitis B yang utama.

Penulis: fx. wikan indrarto

dokter spesialis anak di RS Bethesda Yogyakarta
Alumnus S3 UGM

kekerasan terhadap anak

KEKERASAN PADA ANAK

Pembunuhan Engeline, anak usia 8 tahun di Denpasar Bali, mengingatkan kita akan adanya kekerasan pada anak. Data Global status report on violence prevention tahun 2014 dari 133 negara, adalah laporan tentang penganiayaan, kekerasan, pelecehan seksual, dan penelantaran pada anak. Sekitar 250.000 kasus pembunuhan anak terjadi sepanjang tahun 2013, yaitu 43% dari total jumlah pembunuhan global setiap tahun. Apa yang sebaiknya kita sadari?

Kekerasan pada anak memiliki dampak serius, karena seringkali berlangsung seumur hidup, tidak hanya pada aspek medis, tetapi juga pada fungsi psikologis dan sosial. Wajar saja kekerasan pada anak terbukti meningkatkan biaya pelayanan kesehatan, kesejahteraan, dan peradilan pidana, juga mengurangi produktivitas dan umumnya bahkan merusak struktur sosial di masyarakat. Untuk setiap kasus kekerasan pada anak, 40% mengalami cedera berat, yang memerlukan perawatan di rumah sakit. Cidera ini juga mencakup 24% anak perempuan yang mengalami kekerasan seksual.

Kekerasan pada anak merupakan masalah kesehatan masyarakat global. Ini mencakup berbagai tindakan dari ‘bullying’ dan ‘fighting’ secara fisik ataupun seksual, bahkan yang lebih parah adalah pembunuhan. Tingkat pembunuhan anak bervariasi, termasuk kasus Engelin di Bali. Namun di semua negara, anak laki-laki sebenarnya merupakan mayoritas pelaku dan sekaligus juga korban pembunuhan. Tingkat pembunuhan pada anak perempuan secara global, jauh lebih rendah daripada anak laki-laki di hampir semua negara. Pembunuhan dan kekerasan pada anak tidak hanya berkontribusi besar terhadap beban global kematian dini, cedera dan cacat, tetapi juga memiliki dampak serius, seringkali bahkan seumur hidup, pada fungsi psikologis dan sosial seseorang. Hal ini dapat mempengaruhi keluarga korban, teman dan masyarakat. Pada rentang tahun 2000-2012, tingkat pembunuhan anak menurun di sebagian besar negara, meskipun penurunan telah lebih besar di negara-negara berpenghasilan tinggi daripada di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.

Kekerasan seksual juga menduduki proporsi yang signifikan, yaitu 24% anak perempuan mengalami kekerasan dalam rumah tangga, berupa kekerasan seksual pertama mereka. Laporan ‘Multi-country study on women’s health and domestic violence’ menyebutkan bahwa,  kekerasan fisik dan intimidasi juga umum di kalangan anak perempuan. Laporan dari 40 negara berkembang, termasuk Indonesia menunjukkan bahwa intimidasi terjadi pada 45,2% anak laki-laki dan 35,8% anak perempuan.

Faktor yang dapat meningkatkan terjadinya kekerasan pada anak sangat kompleks, meliputi diri anak itu sendiri, keluarga dan komunitas atau negara. Faktor risiko dalam diri individu anak meliputi sifat hiperaktif, impulsif, agresif, kontrol perilaku yang buruk, kurang perhatian, anak yang tidak dikehendaki, keterlibatan awal atau kecanduan alkohol, obat-obatan dan rokok, keyakinan aneh dan sikap antisosial. Selain itu juga kecerdasan dan prestasi pendidikan yang rendah, rendahnya minat dan kegagalan di sekolah, berasal dari orang tua tunggal atau rumah tangga kurang harmonis, perceraian orang tua, dan paparan kekerasan dalam keluarga.

Faktor risiko dalam hubungan dengan orang dekat dalam keluarga atau teman meliputi kurangnya pemantauan dan pengawasan anak oleh orang tua, pendidikan disiplin orangtua yang terlalu keras, kendur atau bahkan tidak konsisten, keterikatan emosional antara orang tua dan anak yang rendah, keterlibatan orang tua dalam kegiatan anak yang rendah, dan orangtua terlibat dalam penyalahgunaan obat atau kriminalitas. Selain itu juga tingkat pendidikan dan pendapatan keluarga yang rendah.

Faktor risiko dalam komunitas dan masyarakat yang lebih luas meliputi  rendahnya tingkat kohesi sosial dalam masyarakat dan pasokan senjata atau obat-obatan terlarang, tidak adanya alternatif non-kekerasan untuk menyelesaikan konflik antar anak, ketimpangan pendapatan yang tinggi, perubahan sosial dan demografi yang cepat, urbanisasi, dan kualitas pemerintahan suatu negara. Dalam hal ini meliputi penegakan hukum dan kebijakan pemerintah di bidang pendidikan dan perlindungan sosial.

Program pencegahan kekerasan yang sudah terbukti efektif, juga dapat dibaca pada Global status report on violence prevention 2014. Pencegahan tersebut meliputi program keterampilan dan pembangunan sosial untuk membantu anak mengelola kemarahan, menyelesaikan konflik, dan mengembangkan keterampilan sosial yang diperlukan untuk memecahkan masalah, kurikulum sekolah berbasis program pencegahan anti-intimidasi, dan kurikulum prasekolah agar anak memiliki kemampuan akademik dan sosial sejak usia dini. Dalam tataran hukum dan aspek keamanan, dapat berupa program untuk mengurangi akses anak ke alkohol, obat dan rokok, yaitu melalui peningkatan pajak dan pengurangan jumlah ‘outlet’ penjualan. Yang terakhir, meningkatkan pengelolaan lingkungan, misalnya mengurangi kesempatan anak berkerumun dan mengurangi konsentrasi kemiskinan di suatu wilayah, dengan membantu keluarga pindah ke lingkungan sosial yang lebih baik.

Program pencegahan yang sudah terbukti berhasil di dalam Global status report on violence prevention 2014, layak kita contoh, juga dengan mengkoreksi faktor risiko yang ada untuk terjadinya kekerasan pada anak. Tentunya agar kasus pembunuhan Engelin di Bali tidak terulang dan anak-anak di sekitar kita, terbebas dari ancaman kekerasan dan pembunuhan.

Penulis:

fx. wikan indrarto

dokter spesialis anak di RS Bethesda Yogyakarta,
alumnus S3 FK UGM

Donor Darah

HARI DONOR DARAH SEDUNIA 2015

Hari Donor Darah Sedunia (World Blood Donor Day) diadakan setiap tanggal 14 Juni, untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya donor darah dan untuk mengapresiasi pendonor darah sukarela, dalam menyelamatkan nyawa pasien. Tema kampanye Hari Donor Darah Sedunia 2015 adalah “terima kasih karena telah menyelamatkan hidup saya”. Apa yang sebaiknya diketahui?
Transfusi darah telah terbukti mampu menyelamatkan nyawa dan meningkatkan derajad kesehatan masyarakat, tetapi masih banyak pasien yang membutuhkan transfusi, tidak memiliki akses yang tepat terhadap darah yang aman. Tidak tersedianya darah telah menyebabkan berbagai kematian pasien dan banyak pasien lain akan menderita sakit lebih lama. Pada umumnya transfusi digunakan untuk mendukung berbagai perawatan medis. Di negara berpenghasilan tinggi, pasien yang paling sering ditransfusi adalah lansia atau lebih dari 65 tahun, yaitu 76% dari semua proses transfusi. Transfusi darah pada umumnya digunakan untuk perawatan suportif dalam operasi bedah jantung, operasi transplantasi organ, trauma masif, dan terapi untuk kanker solid dan hematologis. Sebaliknya, hampir 65% dari transfusi darah di negara berpenghasilan rendah diberikan kepada anak balita. Seperti di Indonesia, transfusi darah digunakan lebih sering untuk manajemen komplikasi yang berhubungan dengan kehamilan, persalinan, malaria dengan anemia berat, dan luka terkait trauma.

WHO mendesak semua negara untuk mengembangkan sistem donor darah nasional berdasarkan azas sukarela dan tidak dibayar, untuk mencapai tujuan swasembada dalam darah dan produk darah yang aman. Terdapat sekitar 108 juta unit darah yang disumbangkan secara global setiap tahun, yang hampir 50% dikumpulkan di negara berpenghasilan tinggi, yang ditinggali hanya 20% populasi dunia. Pasokan darah yang cukup, dapat diandalkan, dan aman didapatkan dari pendonor darah sukarela yang tidak dibayar. Darah dari pendonor yang teratur, sukarela, dan tidak dibayar juga darah yang paling aman dari risiko infeksi yang ditularkan melalui darah. Darah yang disumbangkan harus selalu diperiksa akan adanya kuman HIV, hepatitis B, hepatitis C dan sifilis, sebelum digunakan untuk transfusi darah. Namun demikian, masih ada 25 negara yang tidak mampu melakukan penyaringan semua darah yang disumbangkan, untuk satu atau lebih jenis kuman tersebut. Selain itu, pemeriksaan ini tidak dapat diandalkan di banyak negara karena pasokan alat dan bahan pemeriksaan yang tidak teratur, kekurangan staf, alat pemeriksaan berkualitas buruk, atau kurangnya kompetensi petugas di laboratorium.

Pada tahun 2012, terdapat 73 negara yang telah mengumpulkan lebih dari 90% kebutuhan darah mereka dari donor darah sukarela, di antaranya 60 negara bahkan telah mampu mengumpulkan 100% pasokan darah dari pendonor darah sukarela. Sebaliknya di 72 negara, hanya kurang dari 50% pasokan darah yang berasal dari pendonor sukarela, sehingga banyak pasokan darah masih tergantung pada pendonor keluarga pasien, impor dan pendonor yang harus dibayar. Tingkat donor darah rata-rata 9 kali lebih besar di negara berpenghasilan tinggi daripada di negara berpenghasilan rendah. Sekitar 10.000 pusat darah donor di 168 negara berhasil mengumpulkan total 83 juta sumbangan darah. Sumbangan darah tahunan rata-rata per pusat darah donor adalah 15.000 di negara berpenghasilan tinggi, dibandingkan dengan hanya 3.100 di negara berpenghasilan menengah dan rendah. Hal ini disebabkan karena ada lebih banyak warga di negara berpenghasilan tinggi telah sadar dan rela menyumbangkan darah mereka, dibandingkan warga di negara lain. Tingkat donor darah di negara berpenghasilan tinggi adalah 36,8 sumbangan per 1.000 orang warga. Sebaliknya, hanya 11,7 sumbangan per 1.000 orang di negara berpenghasilan menengah, bahkan hanya 3,9 sumbangan per 1.000 di negara berpenghasilan rendah.

Proses pemisahan darah ke berbagai komponen darah, memungkinkan satu unit kantong darah donor dapat digunakan untuk beberapa pasien, dengan memberikan pasien hanya komponen darah yang diperlukan saja. Sekitar 95% darah yang dikumpulkan di negara berpenghasilan tinggi, 80% di negara berpenghasilan menengah, dan 45% di negara berpenghasilan rendah, sudah dapat dipisahkan menjadi komponen-komponen darah. Perlu juga diketahui, bahwa sering kali transfusi darah dilakukan, ketika pengobatan alternatif sederhana dan aman, mungkin sama efektifnya, sehingga sebenarnya transfusi darah pada kasus tersebut tidak diperlukan. Transfusi darah yang tidak perlu, justru akan meningkatkan risiko infeksi, seperti HIV dan hepatitis, dan reaksi transfusi yang merugikan pasien.
Data menunjukkan bahwa secara global 30% darah diberikan oleh pendonor wanita, tetapi pada 20 dari 111 negara hanya kurang dari 10% sumbangan darah, yang diberikan oleh pendonor wanita. Peningkatan 8,6 juta sumbangan darah dari pendonor darah sukarela pada periode 2004-2012 telah dilaporkan oleh 162 negara. Kenaikan tertinggi pendonor darah sukarela terjadi di Asia Tenggara (78%), termasuk Indonesia, dan Afrika (51%).

Momentum Hari Donor Darah Sedunia (World Blood Donor Day) setiap tanggal 14 Juni dengan slogan ‘Give freely, give often. Blood donation matters’, akan memotivasi pendonor darah rutin untuk terus memberikan darahnya. Selain itu, juga memotivasi kaum muda untuk mulai melakukannya. WHO menargetkan tahun 2020 semua negara mampu mendapatkan 100% pasokan darah dari pendonor darah sukarela yang tidak dibayar. Sudahkah Anda menjadi pendonor darah sukarela?

Penulis: fx. wikan indrarto

dokter spesialis anak di RS Bethesda Yogyakarta
Alumnus S3 UGM

ATASI EPILEPSI

Resolusi saat penutupan Majelis Kesehatan Dunia (The World Health Assembly) ke 68 adalah tentang polusi udara dan epilepsi (strengthening care for epilepsy), dikeluarkan pada Selasa, 26 Mei 2015 di Jenewa, Swiss. Sekitar 50 juta orang di seluruh dunia mengalami epilepsi, sehingga menjadi salah satu penyakit sistem saraf pusat yang paling umum di dunia. Sekitar tiga perempat penderita epilepsi di negara berpenghasilan rendah dan menengah, tidak mendapatkan perawatan yang mereka butuhkan. Apa yang sebaiknya diketahui?

Epilepsi ditandai dengan kejang berulang, yaitu episode singkat gerakan spontan, yang mungkin melibatkan sebagian tubuh (parsial) atau seluruh tubuh (umum), dan kadang disertai dengan kehilangan kesadaran, fungsi kontrol usus atau kandung kemih. Episode kejang atau kekambuhan epilepsi terjadi pada saat aliran listrik statis yang berlebihan, dalam sel otak. Derajad kejang dapat bervariasi dari yang sangat ringan, seperti pengalihan perhatian singkat, sampai yang terberat saat otot tersentak kejang yang parah dan berkepanjangan. Kejang juga dapat bervariasi dalam frekuensi, dari kurang dari 1 per tahun sampai beberapa kali per hari. Satu kali kejadian kejang tidak berarti menderita epilepsi, karena 10% populasi dunia mengalami satu kali serangan kejang selama hidup mereka.

Epilepsi didefinisikan sebagai kejadian 2 kali atau lebih kejang tanpa penyebab (unprovoked seizures). Epilepsi adalah salah satu penyakit tertua yang diakui di dunia, pada log batu tahun 4000 SM. Ketakutan, kesalahpahaman, diskriminasi dan stigma sosial telah melingkupi epilepsi selama berabad-abad. Stigma ini masih saja terus terjadi di banyak negara sampai saat ini dan dapat berdampak pada kualitas hidup penderita dan keluarga mereka. Karakteristik kejang bervariasi dan tergantung di sisi otak mana gangguan pertama dimulai, dan seberapa jauh kelainan tersebut menyebar. Gejala sementara terjadi, seperti kehilangan kesadaran, gangguan gerakan, sensasi (termasuk penglihatan, pendengaran dan rasa), suasana hati, atau fungsi kognitif lainnya. Penderita epilepsi sering kali mengalami kesulitan mendaspatkan jaminan asuransi kesehatan dan jiwa, kehilangan kesempatan untuk mendapatkan lisensi mengemudi, dan hambatan untuk memasuki pekerjaan tertentu. Di banyak negara undang-undang mencerminkan tentang kesalahpahaman tentang epilepsi. Sebagai contoh di China dan India, epilepsi umumnya dipandang sebagai alasan untuk melarang atau membatalkan pernikahan. Di Inggris, hukum melarang orang dengan epilepsi untuk menikah, baru dicabut pada tahun 1970. Di Amerika Serikat, sampai tahun 1970-an, hukum melarang penderita epilepsy masuk ke restoran, bioskop, pusat rekreasi dan bangunan umum lainnya.

Epilepsi tidak menular dan jenis yang paling umum, yaitu 6 dari 10 orang epilepsi, disebut epilepsi idiopatik dan tidak memiliki penyebab yang dapat dipastikan. Sebaliknya, epilepsi yang diketahui penyebabnya disebut epilepsi sekunder, atau epilepsi simtomatik. Penyebab epilepsi sekunder dapat berupa kerusakan otak saat prenatal atau perinatal, misalnya hilangnya oksigen atau trauma selama kelahiran, berat badan bayi saat lahir rendah, kelainan bawaan atau kondisi genetik dengan malformasi otak, cedera kepala berat karena penyebab apapun, stroke yang mengurangi aliran oksigen ke sel otak, infeksi otak seperti meningitis, ensefalitis, neurocysticercosis, sindrom genetik tertentu, ataupun tumor otak.

Epilepsi sebenarnya dapat diobati dengan mudah dan harga terjangkau, dengan obat rutin harian yang harganya hanya US $ 5 per tahun. Sekitar 70% penderita epilepsi dapat berhasil diobati, yaitu kejang benar-benar dikontrol, dengan obat anti-epileptic (AED). Selanjutnya, setelah 2 sampai 5 tahun bebas kejang, obat dapat dihentikan secara bertahap, pada sekitar 70% anak dan 60% orang dewasa penderita epilepsi, tanpa terjadi kekambuhan berikutnya. Di negara berpenghasilan rendah dan menengah, sekitar tiga perempat penderita epilepsi tidak dapat menerima perawatan yang mereka butuhkan, yaitu terjadi kesenjangan pengobatan (treatment gap). Di banyak negara berpenghasilan rendah dan menengah, ketersediaan AED adalah rendah, yaitu ketersediaan rata-rata obat antiepilepsi generik di sektor publik kurang dari 50%. Hal ini dapat berperan sebagai penghalang penderita untuk mengakses pengobatan rutin.

Epilepsi idiopatik tidak dapat dicegah. Namun, beberapa langkah pencegahan dapat diterapkan untuk penyebab epilepsi sekunder. Yang pertama adalah mencegah cedera kepala, yang terbukti merupakan cara yang paling efektif untuk mencegah epilepsi pasca-trauma. Selain itu, juga perawatan perinatal yang memadai, telah dapat mengurangi kasus baru epilepsi yang disebabkan oleh trauma persalinan. Penggunaan obat dan metode lain untuk menurunkan suhu tubuh anak balita saat demam tinggi, juga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya kejang demam yang dapat berlanjut menjadi epilepsi. Infeksi sistem saraf pusat adalah penyebab tersering epilepsi di daerah tropis, di negara berpenghasilan rendah, dan menengah. Pembasmian parasit dalam lingkungan tempat tinggal dan pendidikan tentang cara untuk menghindari infeksi, juga merupakan metode efektif untuk mengurangi epilepsi, misalnya karena neurocysticercosis.

Epilepsi menyumbang 0,75% beban global penyakit, berdasarkan ukuran waktu hidup dalam tahun yang hilang karena kematian dini (years of life lost due to premature mortality), dan waktu hidup dalam tingkat kesehatan yang kurang baik (time lived in less than full health). Pada tahun 2012, epilepsi bertanggung jawab untuk sekitar 20,6 juta tahun yang hilang (DALY atau disability-adjusted life years). Epilepsi memiliki dampak ekonomi yang signifikan dalam hal kebutuhan kesehatan, kematian dini, dan produktivitas kerja yang hilang. Sebuah penelitian di India pada tahun 1998 menunjukkan, biaya per pasien untuk pengobatan epilepsi adalah setinggi 88,2% produk bruto nasional (GNP), dan biaya lain yang terkait epilepsi, termasuk biaya medis, perjalanan, dan kehilangan waktu bekerja, melebihi US $ 1,7 miliar per tahun. Meskipun dampak sosial bervariasi dari satu negara ke negara, diskriminasi dan stigma sosial yang melingkupi penderita epilepsi di seluruh dunia, justru sering lebih sulit diatasi daripada mengobtai kejang itu sendiri.

Pada tahun 1997 didirikan International League Against Epilepsy (ILAE) dan sejak itu melakukan kampanye global bertema “Out of Shadows”, untuk memberikan informasi yang lebih baik, meningkatkan kesadaran tentang epilepsi, dan memperkuat upaya publik dan swasta, untuk meningkatkan perawatan dan mengurangi dampak epilepsi. Selain itu, juga melakukan proyek percontohan yang mengembangkan model integrasi kontrol epilepsi dalam sistem kesehatan nasional, yang dilakukan di Ghana, Mozambik, Myanmar dan Vietnam.

Kita berharap Resolusi Majelis Kesehatan Dunia (The World Health Assembly) ke 68 tentang epilepsi (strengthening care for epilepsy), sejalan dengan kampanye “Out of Shadows”, untuk mengatasi epilepsi. Apakah hal itu sudah terjadi di Indonesia?

Sekian
Yogyakarta, 27 Mei 2015
fx. Wikan Indrarto
dokter spesialis anak di RS Bethesda Yogyakarta
Alumnus S3 UGM

world no tobacco day

HARI TANPA TEMBAKAU SEDUNIA

Setiap tanggal 31 Mei telah ditetapkan WHO sebagai ‘Hari Tanpa Tembakau Sedunia’ (World No Tobacco Day), untuk mengingatkan kembali besarnya  risiko terjadinya penyakit yang terkait dengan penggunaan tembakau. Selain itu, juga untuk penggalangan dukungan penuh atas kebijakan politik yang efektif, dalam mengurangi konsumsi tembakau. Tema tahun ini adalah Hentikan Perdagangan Gelap Produk Tembakau (Stop Illicit Trade In Tobacco Products). Apa yang sebaiknya kita ketahui?
Satu dari setiap 10 batang rokok yang dikonsumsi di seluruh dunia adalah illegal. Hal ini menyebabkan perdagangan ilegal produk tembakau menjadi masalah global utama dari berbagai perspektif, termasuk kesehatan, hukum, ekonomi, system pemerintahan dan korupsi. Industri tembakau dan kelompok kriminal internasionallah yang mendapat keuntungan dari perdagangan tembakau ilegal, tetapi masyarakat justru dirugikan karena meningkatnya biaya kesehatan dan keamanan. Banyak negara telah meratifikasi Protokol untuk Menghentikan Perdagangan Gelap Produk Tembakau (the Protocol to Eliminate Illicit Trade in Tobacco Products). Masih ada 40 negara yang harus meratifikasi atau menyetujui protokol tersebut agar menjadi hukum internasional. Menurut Pasal 33, protokol tersebut mengikat hanya pada negara yang bersangkutan. Protokol tersebut diadopsi pada tanggal 12 November 2012 di Seoul, Republik Korea, dan sejak saat itu terbuka untuk diratifikasi oleh berbagai negara.

Protokol baru ini bertujuan untuk menghilangkan segala bentuk perdagangan gelap produk tembakau dan memuat kebijakan untuk mencegah dan menangkal perdagangan gelap, melalui paket kebijakan nasional dan kerjasama internasional.
Para pihak terkait akan mengambil langkah-langkah untuk mengamankan rantai pasokan produk tembakau, dari hulu sampai hilir. Misalnya, keharusan lisensi untuk pembuatan, impor, dan ekspor produk tembakau dan peralatan manufaktur, meliputi mesin yang digunakan untuk memproduksi produk tembakau. Setiap negara juga akan membentuk sistem dan melakukan pelacakan nasional atau regional, untuk semua produk tembakau yang diproduksi di atau diimpor ke wilayahnya. Sistem nasional dan regional akan melakukan pelacakan global dan menghasilakan “global information-sharing focal point” di Sekretariat Konvensi. Melalui fasilitas global ini, setiap negara akan dapat mengakses dan menyelidiki perdagangan gelap produk tembakau yang dibuat di atau diimpor ke salah satu negara lainnya. Langkah-langkah lain untuk mengendalikan rantai pasokan tembakau, termasuk penjualan lewat internet serta penjualan di zona bebas dan transit internasional. Negara akan menindak sejumlah pelaku pelanggar hukum, termasuk pembuatan atau penyelundupan produk tembakau gelap, dengan sanksi yang efektif, proporsional dan bersifat larangan, sedangkan produk tembakau yang disita akan dimusnahkan.

Selain protokol tersebut, kita juga perlu mengenal Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC atau Framework Convention on Tobacco Control), yang merupakan perjanjian internasional pertama yang dikoordinasikan oleh WHO. FCTC adalah perjanjian berbasis bukti yang menegaskan kembali, hak semua orang untuk mendapatkan derajad kesehatan yang tertinggi. FCTC merupakan pergeseran paradigma dalam mengembangkan strategi regulasi untuk mengatasi zat adiktif; yang berbeda dengan perjanjian pengawasan obat sebelumnya, karena menegaskan pentingnya strategi pengurangan permintaan dan pasokan. FCTC dikembangkan dalam menanggapi globalisasi epidemi tembakau. Penyebaran epidemi tembakau difasilitasi melalui berbagai faktor yang kompleks dengan efek lintas batas, termasuk liberalisasi perdagangan dan investasi asing. Faktor-faktor lain seperti pemasaran global, iklan rokok transnasional, promosi dan sponsor, dan gerakan internasional penyelundupan dan rokok palsu, juga telah memberikan kontribusi terhadap peningkatan epidemi di penggunaan tembakau.

Ketentuan utama tentang pengurangan permintaan (demand reduction) tembakau dalam FCTC artikel 6-14, terdiri dari pengaturan harga (price) dan bukan harga (non-price). Pengaturan harga juga meliputi peningkatan pajak untuk mengurangi permintaan tembakau. Pengaturan bukan harga, meliputi perlindungan warga dari paparan asap tembakau, pengaturan isi produk tembakau, kewajiban pengungkapan produk tembakau pada kemasan dan pelabelan produk tembakau. Juga pendidikan, komunikasi, pelatihan dan peningkatan kesadaran masyarakat. Selain itu, juga pembatasan iklan tembakau, promosi dan sponsorship, yang diperkuat dengan langkah pengurangan ketergantungan tembakau dan penghentian merokok. Ketentuan utama tentang pengurangan pasokan (supply reduction) dalam FCTC artikel 15-17 meliputi pengendalian perdagangan gelap produk tembakau, larangan penjualan ke dan oleh anak di bawah umur, serta dukungan untuk kegiatan alternatif yang bernilai ekonomis.

FCTC disepakati pada 16-22 Juni 2003 di Jenewa, dan setelah itu dibahas selama 1 tahun di Markas Besar PBB di New York, 30 Juni 2003-29 Juni 2004. Perjanjian tersebut memiliki 168 negara dan organisasi penandatangan, termasuk Masyarakat Eropa, yang menjadikannya salah satu perjanjian yang paling banyak disepakati dalam sejarah PBB. Negara anggota yang telah menandatangani Konvensi, menunjukkan bahwa mereka akan berusaha dengan itikad baik untuk meratifikasi, menerima, atau menyetujui hal itu, dan menunjukkan komitmen politik untuk tidak merusak tujuan yang ditetapkan di dalamnya. Negara yang ingin bergabung, karena tidak ikut menandatangani Konvensi pada 29 Juni 2004 lalu, dapat melakukannya dengan cara aksesi, yang merupakan satu langkah proses hokum yang setara dengan ratifikasi. Konvensi mulai berlaku pada 27 Februari 2005, atau 90 hari setelah disetujui oleh 40 Negara.

Sampai saat ini, Indonesia belum melakukan ratifikasi maupun aksesi atas konvensi FCTC dan Protokol untuk Menghentikan Perdagangan Gelap Produk Tembakau. Kita semua sebaiknya mendesak pemerintah dan anggota parlemen, untuk meratifikasi kedua protokol tersebut. Tanpa ratifikasi, bagaimana mungkin hari bebas tembakau (No Tobacco Day), dapat terjadi di sini?

ditulis oleh fx. wikan indrarto, dokter spesialis anak di RS Bethesda Yogyakarta
Alumnus S3 UGM

Hari Tuberkulosis Sedunia

Hari Tuberkulosis (TB) Sedunia, 24 Maret 2015, mengangkat tema mempercepat upaya global untuk membasmi TB (gear up to end TB). Ada kemajuan yang luar biasa dalam beberapa tahun terakhir, dan kita sudah  berada pada jalur yang benar. Namun demikian, ini saja tidak cukup, karena pada tahun 2013, masih ada 9 juta orang menderita TB dan 1,5 juta meninggal. Apa yang harus kita perlu berbuat lebih banyak lagi?

Pada tahun 2013, sekitar 95% kematian akibat TB terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah, juga menjadi penyebab kematian pada wanita berusia produktif 15-44 tahun, sehingga menyebabkan sekitar 10 juta anak yatim piatu akibat kematian TB pada dewasa. Sekitar 80.000 anak meninggal akibat TB secara global, juga TB pada anak sering terabaikan karena sulit untuk diagnosis dan diobati.

TB juga merupakan penyebab kematian utama pada orang yang hidup dengan HIV (ODHA), yaitu sekitar satu dari empat kematian. Namun demikian, sekitar 4,8 juta orang telah diselamatkan pada 2005-2013, melalui program terkoordinasi TB dan HIV untuk mendeteksi, mencegah dan mengobati infeksi ganda TB-HIV. Setidaknya sepertiga dari orang yang hidup dengan HIV di seluruh dunia pada tahun 2013 yang terinfeksi bakteri TB, meskipun mereka tidak menjadi sakit dengan TB aktif. Orang yang hidup dengan HIV adalah 26-31 kali lebih mungkin untuk mengembangkan penyakit TB aktif dibandingkan orang tanpa HIV. HIV dan TB membentuk kombinasi yang mematikan, masing-masing mempercepat dan saling memperburuk. Sekitar 360.000 orang meninggal karena TB terkait HIV, 25% kematian ODHA karena TB, 1,1 juta kasus baru TB pada ODHA, dan 78% hidup di Afrika.

Jumlah orang jatuh sakit dan tingkat kematian TB sebenarnya telah menurun 45% sejak tahun 1990, bahkan China telah berhasil menurunkan kematian sampai 80%. Sekitar 80% kasus TB yang dilaporkan terjadi di 22 negara pada tahun 2013, TB terjadi pada setiap propinsi di negara tersebut dan hampir 60% kasus TB baru, terjadi di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, dan Pasifik Barat. Tingkat terbesar dari kasus baru per kapita terjadi di Afrika dan tidak ada sebuah negarapun yang pernah mampu membasmi TB.

Multidrug-Resistant Tuberculosis (MDR-TB) adalah bentuk TB dengan bakteri yang sudah tidak merespon, setidaknya terhadap isoniazid dan rifampicin, dua obat anti-TB lini pertama atau standar, yang paling kuat. Penyebab utama dari MDR-TB adalah pengobatan yang tidak tepat, salah obat anti-TB, atau penggunaan obat berkualitas buruk, yang semuanya dapat menyebabkan resistensi obat. Meskipun MDR-TB dapat diobati dan masih dapat disembuhkan dengan menggunakan obat lini kedua, namun pilihan pengobatan terbatas dan obat tidak selalu tersedia. Kesulitan lain, pengobatan ini lebih lama, bahkan sampai dua tahun, lebih mahal, dan dapat menimbulkan reaksi obat yang parah dan merugikan pasien. Dalam beberapa kasus, resistensi obat lebih parah menjadi Extensively Drug-Resistant TB (XDR-TB), adalah bentuk TB yang resistan terhadap berbagai obat, termasuk obat anti-TB lini kedua yang paling efektif. Sekitar 480.000 orang telah menjadi MDR-TB di dunia pada tahun 2013. Lebih dari setengah dari kasus ini berada di India, China dan Rusia. Diperkirakan sekitar 9,0% dari kasus MDR-TB berkembang menjadi XDR-TB, dengan obat anti TB pengganti yang harus diberikan, tersedia jauh lebih sedikit.

Majelis Kesehatan Dunia Mei 2014 lalu, menyepakati strategi ambisius untuk mengakhiri epidemi TB global untuk 20 tahun ke depan (2016-2035). Strategi ini memiliki target untuk mengurangi kematian TB sebesar 95%, memotong kasus baru TB sebesar 90%, dan menjamin biaya pengobatan akibat TB. Selain itu, juga menetapkan tonggak interim tahun 2020, 2025, dan 2030. Strategi ini meliputi enam fungsi inti dalam mengatasi TB, yangharus dilakukan semua negara, termasuk Indonesia. Pertama menciptakan kepemimpinan global terkait hal penting untuk TB. Kedua menyusun kebijakan berbasis bukti, meliputi strategi pencegahan, perawatan dan pengendalian TB, dan memantau pelaksanaannya. Ketiga memberikan dukungan teknis untuk semua negara, mengkatalisasi perubahan, dan membangun kapasitas yang berkelanjutan. Keempat memantau situasi TB global, dan mengukur kemajuan dalam perawatan dan pengendalian TB, termasuk pembiayaannya. Kelima melakukan penelitian terkait TB, penerjemahan dan penyebarannya ke seluruh dunia. Keenam memfasilitasi dan terlibat dalam kemitraan global untuk tindakan pembasmian TB.

Momentum Hari TB Sedunia mengingatkan kita semua tentang epidemi global tuberkulosis dan upaya pembasmian penyakit tersebut. Acara tahunan ini mengingatkan kita bahwa pada tanggal 24 Maret 1882, Dr Robert Koch menemukan penyebab penyakit TB, yaitu bakteri Mycobacterium tuberculosis. Pada saat Dr. Koch mengumumkan penemuannya di Berlin, Jerman, waktu itu TB mewabah di seluruh Eropa dan Amerika, bahkan menyebabkan kematian 1 dari setiap 7 orang penderitanya.

Namun demikian, sekitar 37 juta jiwa telah berhasil diselamatkan di seluruh dunia antara tahun 2000 dan 2013, melalui program diagnosis dan pengobatan TB. Saat ini kita berada di jalur yang benar untuk mencapai target TB global tahun 2015, sesuai MDGs untuk menghentikan kejadian TB global. Mari kita lebih cepat bergerak (gear up to end TB), untuk membasmi TB. Sudahkah Anda terlibat membantu?

ditulis oleh:

fx. wikan indrarto, dokter spesialis anak di RS Bethesda Yogyakarta

Catatan : dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat Minggu, 29 Maret 205 halaman 7.

Hari Kanker Sedunia

Setiap tanggal 4 Februari, oleh ‘Union for International Cancer Control’  (UICC)  ditetapkan sebagai ‘Hari Kanker Sedunia’ (World Cancer Day), untuk menggiatkan berbagai cara meringankan beban global kanker, sesuai dengan Deklarasi Kanker Dunia pada tahun 2008. Tahun 2015 ini temanya adalah kanker ‘dalam jangkauan kita’ (‘not beyond us’). Apa yang sebaiknya kita sadari?

UICC adalah organisasi internasional terkemuka yang didirikan pada tahun 1933 dan berbasis di Jenewa, Swiss. UICC beranggotakan lebih dari 800 organisasi di 155 negara. UICC adalah anggota NCD (Non-Communicable Diseases) Alliance, jaringan masyarakat sipil global yang kini mewakili hampir 2.000 organisasi di 170 negara. Pada 2013, penerapan monitoring dan rencana aksi (Global Monitoring Framework and Action Plan 2013-2020) memiliki target, indikator, dan tindakan yang berkaitan erat dengan Deklarasi Kanker Dunia.

Kampanye ini akan mempromosikan pencegahan, deteksi dini, pengobatan, dan perawatan kanker. Pada akhirnya, diharapkan dapat berdampak menurunkan beban kanker global secara bertahap, sampai tahun 2020. Epidemi kanker global sangat besar dan akan meningkat terus. Saat ini 8,2 juta orang meninggal akibat kanker di seluruh dunia setiap tahun, bahkan 4 juta orang diantaranya meninggal terlalu awal, yaitu sebelum usia 30 tahun. Target NCD Alliance adalah  menyelamatkan jutaan kematian yang dapat dicegah setiap tahun, karena ganasnya kanker, yaitu mengurangi kematian pada usia produktif sebesar 25% pada tahun 2025.

Kampanye tahun 2015 akan difokuskan dalam empat bidang, yaitu pola hidup sehat, deteksi dini, pengobatan, dan perbaikan kualitas hidup. Kegiatan untuk pola hidup sehat yang dipromosikan, meliputi penghindaran faktor risiko dan pencegahan kanker, yaitu dengan vaksinasi HPV untuk kanker serviks dan HBV untuk kanker hati. Kegiatan untuk deteksi dini, juga meliputi skrining untuk kanker payudara, leher rahim, mulut dan kolorektal.

Diperlukan kampanye terus menerus, untuk meningkatkan kesadaran akan tanda dan gejala awal, sebelum penyakit kanker berkembang lebih lanjut, serta mengenali tanda klinis kecurigaan kanker, dan segera mengambil tindakan cepat untuk diagnosis dini. Beberapa tanda klinis awal kanker meliputi adanya  benjolan, luka yang sulit sembuh, perdarahan abnormal, gangguan pencernaan, dan suara serak yang kronis. Diagnosis dini sangat dianjurkan, khususnya untuk kanker serviks, payudara, mulut, laring, usus, dubur, dan kulit.

Sampai saat ini pengobatan kanker meliputi pembedahan, kemoterapi dan terapi radiasi. Namun demikian, terapi lengkap tersebut masih relatif mahal, sulit, dan angka keberhasilnya belum baik. Dengan demikian, terapi paliatif yang merupakan bagian penting dari pengobatan kanker, dilakukan dengan relatif sederhana dan murah, sebaiknya diberikan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Terapi ini telah terbukti mampu meningkatkan kualitas hidup pasien kanker dan keluarganya, yang diberikan dari tahap awal diagnosis, pendampingan saat pengobatan lainnya, dan bahkan sampai tahap kematian pasien.
Selain meredakan rasa nyeri kanker yang menyakitkan dan gejala yang mengganggu lainnya, terapi paliatif juga memberikan penegaskan tentang arti hidup manusia, dan menganggap bahwa kematian adalah proses yang alami. Meskipun demikian, terapi paliatif sebenarnya tidak ditujukan untuk mempercepat ataupun sebaliknya, menunda kematian pasien kanker. Dalam hal ini, juga mengintegrasikan pendekatan dalam aspek psikologis dan moral dalam perawatan pasien kanker, menawarkan beberapa alternatif bentuk dukungan sosial untuk membantu pasien agar dapat hidup seaktif mungkin, sampai terjadinya tahap kematian. Selain itu, juga mengenalkan beberapa jenis dukungan untuk keluarga dalam menghadapi masalah yang muncul, baik selama pasien sakit, maupun sampai saat keadaan berdukacita. Terapi paliatif pada umumnya menggunakan pendekatan secara tim, yang telah terbukti dapat juga secara positif, mempengaruhi perjalanan penyakit kanker.

Momentum Hari Kanker Sedunia 4 Februari 2015 adalah kesempatan yang baik untuk meningkatkan kesadaran, bahwa ada banyak hal yang dapat dilakukan oleh individu, masyarakat dan pemerintah, dengan memobilisasi dan mengkatalisasi perubahan positif. Dengan bergerak maju secara bersama-sama, kita memiliki potensi untuk menunjukkan kepada dunia, bahwa kanker berada ‘dalam jangkauan kita’ (‘not beyond us’). Sudahkah kita berperan demikian, untuk para pasien kanker di sekitar kita?

ditulis oleh:

fx. wikan indrarto, dokter spesialis anak di RS Bethesda Yogyakarta

Catatan : dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat Minggu, 22 Februari 2015 halaman 7

Tenggelam

Tenggelam adalah proses gangguan pernapasan akibat perendaman dalam cairan, sesuai hasil World Congress on Drowning 2002. Tenggelamnya Feri Sewol di Korea dan KM Bhakti 74 di Larantuka, Flores yang memakan korban banyak anak, sangatlah memperihatinkan. Apa yang sebaiknya kita sadari?

Pada tahun 2004, diperkirakan 388.000 orang meninggal akibat tenggelam, dan sejak itu tenggelam menjadi masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia. Perlu diingat bahwa angka ini tidak termasuk kasus tenggelam karena banjir atau bencana alam. Meskipun data statistik tenggelam di banyak negara tidak tersedia atau tidak dapat diandalkan, tetapi sebagian besar, bahkan sekitar 96%, dari semua kematian akibat tenggelam, terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah, bahkan daerah Pasifik Barat dan Asia Tenggara mencapai 60% dari kematian total. Angka kematian tenggelam secara global tertinggi di Afrika, yaitu 10-13 kali lebih tinggi daripada yang terjadi di Inggris atau Jerman.

Secara global diperkirakan 359.000 orang tenggelam di seluruh dunia setiap tahun, di antaranya lebih dari 63.000 anak balita. Tenggelam merupakan salah satu dari sepuluh penyebab utama kematian anak di setiap wilayah di dunia. Di Australia tenggelam adalah penyebab utama cedera yang tidak disengaja dan menimbulkan kematian pada anak usia 1-3 tahun. Di Bangladesh tenggelam menyumbang 43% dari semua kematian pada anak usia 1-4 tahun. Di Tiongkok tenggelam adalah penyebab utama kematian karena cidera pada anak usia 1-14 tahun. Di Amerika Serikat tenggelam adalah penyebab utama kedua kematian yang tidak disengaja terkait cedera, pada anak usia 1-14 tahun.

Tenggelam adalah salah satu dari 3 penyebab cedera yang tidak disengaja, yang menjadi penyebab kematian di seluruh dunia, dan mencapai 7% dari semua kematian global, terkait cedera. Meskipun data terbatas, beberapa penelitian mengungkapkan informasi tentang dampak biaya tenggelam. Di Amerika Serikat, 45% dari kematian karena tenggelam adalah salah satu segmen usia penduduk yang paling aktif secara ekonomi. Tenggelam di pesisir Amerika Serikat sendiri menghabiskan biaya US$273.000.000 setiap tahun, baik biaya langsung maupun tidak langsung. Di Australia dan Kanada, biaya kesehatan tahunan terkait cedera dan tenggelam adalah sebesar US$ 85 dan US$ 173 juta.

Dengan dukungan dari ‘Bloomberg Philanthropies’ melalui ‘Drowning Prevention Project’, WHO telah melakukan pengembangan sistem pelaporan. Laporan WHO tentang pencegahan tenggelam, mencakup semua negara di dunia dengan korban segala usia, dan menetapkan apa yang perlu diketahui masyarakat tentang bahaya dan pencegahan tenggelam. ‘An Advisory Committee and an Editorial Committee’ telah dibentuk untuk mempercepat penyelesaian laporan. Setelah proses konsultasi yang luas, draft pertama dari laporan ini dikembangkan pada akhir tahun 2013 dan draft kedua saat ini sedang ditulis berdasarkan ‘peer review’. Laporan tenggelam pencegahan (Global report on drowning prevention)  diharapkan akan dirilis pada akhir tahun 2014.

Strategi pencegahan tenggelam harus komprehensif dan mencakup juga metode rekayasa, yang membantu menghilangkan bahaya. Selain itu, juga dalam aspek legal untuk tindakan pencegahan, penurunan paparan dengan air, pendidikan bagi individu dan masyarakat untuk membangun kesadaran risiko, respon cepat jika terjadi tenggelam, dan penelitian terpadu untuk  intervensi pencegahan yang lebih baik. Legislasi dapat menjadi strategi pelengkap dalam pencegahan tenggelam. Penegakan hukum yang memadai dan verifikasi sistem, seringkali diperlukan untuk menekan kasus tenggelam. Bagaimana mungkin Paulus Sani Kleden (32) yang seorang pengumpan ikan, mengapa boleh mengemudi kapal saat prosesi laut Samana Santa di Flores pada hari Jumat, 18 April 2014, yang menyebabkan 10 orang meninggal? Bagaimana mungkin Kapten Lee Jun-seok (69) menyerahkan kemudi kapal di perairan berarus deras Pulai Jindo, Korea Rabu, 16 April 2014? Mengapa dia juga melarikan diri dan menyebabkan 64 orang penumpang meninggal dan 238 orang anak hilang? Proses hukum atas kedua orang tersebut, seharusnya diperluas dengan pemrosesan serupa, untuk para nakoda kapal yang tidak bersedia memberikan pertolongan, saat mereka berlayar ke Kupang di Pulau Timor, bahkan melintas cukup dekat dengan lokasi tenggelamnya kapal.

Undang-undang atau peraturan tentang pemeriksaan keamanan secara rutin pada kapal, dan undang-undang tentang larangan penggunaan alkohol saat berperahu atau berenang, dan ketersediaan perangkat keselamatan (flotation devices) yang tepat dalam kapal, juga merupakan strategi pencegahan yang efektif. Pendidikan masyarakat, termasuk kepada calon penumpang anak, tentang bahaya tenggelam, risiko yang terkait dengan tenggelam, dan pelatihan keterampilan untuk bertahan hidup, perlu juga diajarkan. Demikian pula, memastikan kehadiran tim penyelamat (lifeguards), bahkan memastikan ketrampilannya melakukan resusitasi segera, untuk memberikan pertolongan pertama pada kasus tenggelam.

Kasus tenggelamnya Feri Sewol di Korea dan KM Bhakti 74 di Larantuka, Flores yang memakan banyak korban, seharusnya merupakan momentum bagi kita semua, untuk memberikan perhatian pada usaha pencegahan tenggelam. Dengan demikian, kematian anak karena tenggelam, akan semakin dapat dikurangi.

ditulis oleh:

fx. wikan indrarto, dokter spesialis anak di RS Bethesda Yogyakarta

Catatan : dimuat di semijurnal Farmasi dan Kedokteran ‘Ethical Digest’, no 133, tahun XII, Maret 2015.