Discovering The Role of Gastrointrstinal Health on Brain Development and Function

Pada hari minggu, 4 Februari 2018, bertempat di Ballroom Karaton Hotel Ambarrukmo Yogyakarta, diadakan acara “Discovering The Role of Gastrointrstinal Health on Brain Development and Function”

Acara dimulai pukul 9.30 WIB.

Untuk materi bisa diakses pada alamat www.idaijogja.or.id/artikel-ilmiah.

Akses artikel harus memasukkan username dan password.
Contoh: NPA:01 38877 2012 11
Username: 38877
Password: 12345
Password bisa diganti setelah login.

Gallery Foto

Pelantikan Pengurus IDAI Cab. DIY dan Simposium

Pada hari minggu, 28 Januari 2018, bertempat di Ballroom Hotel Eastparc Yogyakarta, diadakan acara Pelantikan pengurus IDAI Cab. DIY 2017-2020 dan Simposium.

Acara dimulai pukul 9.20 WIB dan dibuka oleh Ketua panitia.

Untuk materi bisa diakses pada alamat www.idaijogja.or.id/artikel-ilmiah.

Akses artikel harus memasukkan username dan password.
Contoh: NPA:01 38877 2012 11
Username: 38877
Password: 12345
Password bisa diganti setelah login.

Gallery Foto

RTD Building Generation Free from Vaccine-Preventable Diseases

Pada hari minggu, 10 Desember 2017, bertempat di Ballroom Hotel Grand Aston Yogyakarta, diadakan acara “RTD Building Generation Free from Vaccine-Preventable Diseases”

Acara dimulai pukul 10.30 WIB dan dibuka oleh Ketua dari IDAI cabang DIY.

Pembicara pada acara ini ada 2 yaitu:

  1. Mei Neni Sitaresmi
  2. Philippe Buchy

Untuk materi bisa diakses pada alamat www.idaijogja.or.id/artikel-ilmiah.

Akses artikel harus memasukkan username dan password.
Contoh: NPA:01 38877 2012 11
Username: 38877
Password: 12345
Password bisa diganti setelah login.

Gallery Foto

Pediatric Asthma Control

Pada hari minggu, 7 Mei 2017, bertempat di Ballroom Hotel Tentrem Yogyakarta, diadakan acara “Pediatric Asthma Control”

Acara dimulai pukul 9.00 WIB dan dibuka oleh Ketua dari IDAI cabang DIY.

Untuk materi bisa diakses pada alamat www.idaijogja.or.id/artikel-ilmiah.

Akses artikel harus memasukkan username dan password.
Contoh: NPA:01 38877 2012 11
Username: 38877
Password: 12345
Password bisa diganti setelah login.

Gallery Foto

The Current Management of Premature Infant

Pada hari kamis, 20 April 2017, bertempat di Ballroom Karaton Royal Ambarrukmo Hotel Yogyakarta, diadakan acara The Current Management of Premature Infant

Acara dimulai pukul 19.00 dan dibuka oleh Ketua dari IDAI cabang DIY.

Untuk materi bisa diakses pada alamat www.idaijogja.or.id/artikel-ilmiah.

Akses artikel harus memasukkan username dan password.
Contoh: NPA:01 38877 2012 11
Username: 38877
Password: 12345
Password bisa diganti setelah login.

Gallery Foto

Materi ASM 2017

Materi ASM 2017 dapat diunduh melalui link di bawah ini.

 

Nota Kesepahaman Antara IDI dan POLRI

 

download

MEMBATASI RESISTENSI

Resistensi (kekebalan terhadap) antibiotik adalah salah satu ancaman terbesar bagi kesehatan global saat ini. Resistensi antibiotik terjadi secara alami, namun ketidaktepatan penggunaan antibiotik pada manusia dan hewan,  terbukti mempercepat proses tersebut, sehingga harus kita batasi. Apa yang seharusnya kita lakukan?

Antibiotik adalah obat yang digunakan untuk mencegah dan mengobati infeksi bakteri. Resistensi antibiotik terjadi ketika bakteri mengubah mekanisme dalam menanggapi penggunaan obat tersebut, sehingga justru bakteri, bukan manusia, berubah menjadi kebal atau resisten terhadap antibiotik. Bakteri ini kemudian dapat menginfeksi manusia lain dan lebih sulit untuk diobati daripada bakteri biasa. Resistensi antibiotik menyebabkan biaya kesehatan yang lebih tinggi, perawatan di rumah sakit berkepanjangan dan kematian yang meningkat.  Di seluruh Uni Eropa, bakteri yang resisten terhadap antibiotik diperkirakan menyebabkan 25.000 kasus kematian dan biaya lebih dari US $ 1,5 miliar setiap tahun, untuk biaya kesehatan dan kerugian karena gangguan produktivitas.

Resistensi antibiotik meningkat terus sangat tinggi di semua bagian dunia, mekanisme resistensi baru muncul dan menyebar secara global setiap hari, dan mengancam keberhasilan pengobatan penyakit. Penyakit infeksi umum seperti pneumonia, TBC, sepsis dan gonore menjadi lebih sulit ditangani, dan kadang-kadang justru tidak mungkin lagi, karena antibiotik yang tersedia menjadi kurang atau bahkan tidak efektif lagi. Di negara-negara di mana antibiotik dapat dibeli tanpa resep, kemunculan dan penyebaran resistensi menjadi lebih buruk. Demikian pula, di negara tanpa pedoman pengobatan standar, antibiotik sering diresepkan berlebihan atau ‘over prescribed’ oleh dokter dan digunakan berlebihan atau ‘over used’ oleh masyarakat. Tanpa tindakan pembatasan segera, kita sedang menuju ke arah era pasca antibiotik, di mana infeksi umum dan luka ringan dapat menjadi penyebab kematian pasien, seperti pada era pra antibiotika.

Langkah yang dapat diambil untuk mengurangi dampak dan membatasi penyebaran resistensi antibiotik, harus dilaukan oleh semua pihak. Langkah  oleh masyarakat umum antara lain mencegah infeksi dengan cara selalu menjaga kebersihan diri (pribadi) dan lingkungan, mencuci tangan, menjaga kebersihan makanan, menghindari kontak dekat dengan orang yang sakit,  menggunakan alat pelindung diri yang memadai, misalnya menggunakan masker bila sedang flu, dan melakukan vaksinasi ulangan. Selain itu, juga hanya menggunakan antibiotik ketika diresepkan oleh dokter, selalu membeli resep antibiotika secara penuh dan menggunakannya sampai selesai sesuai petunjuk dokter, jangan pernah menggunakan antibiotik sisa, dan jangan pernah berbagi antibiotik dengan orang lain.

Para dokter, apoteker dan petugas kesehatan lainnya dapat berperan membatasi resistensi antibiotik dengan mencegah infeksi,  memastikan tangan, instrumen medis dan lingkungan RS bersih, memberikan vaksinasi terbaru kepada pasien (up to date), ketika terjadi dugaan infeksi bakteri, melakukan kultur bakteri dan pemeriksaan penunjang medik lainnya untuk konfirmasi infeksi, hanya meresepkan, mengeluarkan dan memberikan antibiotik ketika benar-benar dibutuhkan pasien, pada dosis dan durasi pengobatan yang tepat.

Para pejabat dan pembuat kebijakan bidang kesehatan dapat membatasi resistenai antibiotik saat bertindak  dengan menyusun rencana aksi regional atau nasional yang kuat untuk mengatasi resistensi antibiotik, meningkatkan pengawasan infeksi bakteri yang telah resisten terhadap antibiotik, memperkuat langkah-langkah pencegahan dan pengendalian infeksi, juga mengatur dan mempromosikan penggunaan yang tepat atas obat antibiotik yang berkualitas. Selain itu, juga membuat informasi tentang dampak resistensi antibiotik, memberikan apresiasi atas pengembangan obat, vaksin dan alat diagnostik yang baru.

Organisasi profesi kesehatan, misalnya IDI (Ikatan Dokter Indonesia), dapat berperan dengan melakukan sosialisasi berulang, dalam Program Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (P2KB) terstruktur, tentang tatalaksana terbaru penyakit infeksi. Selain itu, juga melakukan advokasi kepada semua pihak, agar para dokter anggota IDI dapat berperan secara optimal dalam menekan kejadian dan membatasi resistensi antibiotik.

Para petugas sektor pertanian dapat membantu dengan memberikan antibiotik untuk hewan hanya saat digunakan untuk mengobati penyakit menular dan di bawah pengawasan seorang dokter hewan, vaksinasi hewan untuk mengurangi kebutuhan antibiotik, dan mengembangkan alternatif tindakan, selain penggunaan antibiotik pada tanaman yang terinfeksi. Selain itu, mempromosikan dan menerapkan praktek yang baik di semua tahap produksi dan pengolahan makanan dari sumber hewan dan tumbuhan yang aman, mengadopsi sistem yang berkelanjutan dengan meningkatkan kebersihan, ‘biosecurity’ dan penanganan hewan bebas penyakit, melaksanakan standar internasional untuk penggunaan antibiotik yang bertanggung jawab, yang ditetapkan oleh OIE, FAO dan WHO. Para pelaku industri bidang kesehatan dapat membantu dengan berinvestasi untuk memproduksi antibiotik, vaksin, dan alat diagnostik penyakit infeksi yang baru.

Menanggulangi resistensi antibiotik juga merupakan prioritas WHO. Sebuah rencana aksi global melawan resistensi antimikroba, termasuk resistensi antibiotik, telah disepakati pada Majelis Kesehatan Dunia pada bulan Mei 2015. Rencana aksi global bertujuan untuk memastikan bahwa pencegahan dan pengobatan penyakit infeksi dengan obat yang aman dan efektif, agar dapat terus berjalan. Rencana aksi global memiliki 5 tujuan strategis, yaitu (1) meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang resistensi antimikroba, (2) memperkuat pengawasan dan penelitian, (3) mengurangi kejadian infeksi, (4) mengoptimalkan penggunaan obat antimikroba, dan (5) memastikan investasi berkelanjutan dalam melawan resistensi antimikroba.

Penggunaan antibiotik pada manusia dan hewan secara benar, merupakan tindakan utama untuk menekan dan membatasi resistensi antibiotik. Namun demikian, diperlukan tindakan tambahan lain oleh berbagai pihak secara serentak, untuk membatasi meluasnya resistensi antibiotik. Apakah Anda sudah terlibat dan bertindak?
fx. Wikan Indrarto

Sekretaris IDI Wilayah DIY, dokter spesialis anak di RS Panti Rapih Yogyakarta, Alumnus S3 UGM

DEPRESI PADA ANAK

Gangguan depresi berat dialami oleh sekitar 3% anak usia sekolah dan 6% remaja, sehingga terjadi peningkatan penggunaan obat antidepresi oleh anak dan remaja dalam beberapa dekade terakhir. Meta analisis penelitian terbaru tentang obat antidepresan pilihan untuk anak, dapat dibaca dalam Newsmedscape 12 Januari 2017 (lihat http://www.medscape.com/viewarticle). Apa yang sebaiknya kita cermati?

Semua jenis gangguan mental pada remaja berhubungan dengan bunuh diri, termasuk gangguan bipolar afektif, episode depresi, gangguan depresi berulang dan gangguan suasana hati persisten, misalnya cyclothymia dan dysthymia. Oleh karena depresi adalah faktor risiko yang signifikan pada bunuh diri, maka depresi wajib diketahui dan dikelola dengan tepat. Diperkirakan bahwa 30% dari pasien remaja pada praktek dokter umum juga menderita depresi, dan sekitar 60% pasien depresi yang mencari pengobatan, pada awalnya datang di praktek dokter umum. Ini merupakan tantangan khusus bagi dokter umum untuk bekerja dengan baik, mengenali adanya penyakit fisik dan gangguan mental pada remaja yang terjadi secara bersamaan. Gejala klinis umum depresi adalah kelelahan, kesedihan, kurangnya konsentrasi, gelisah, lekas marah, gangguan tidur, dan sakit di bagian tubuh yang berpindah-pindah. Gejala tersebut harus diwaspadai dokter dan gambaran klinis spesifik yang terkait dengan peningkatan risiko bunuh diri pada pasien depresi adalah sulit tidur yang lama atau ‘persistent insomnia’, mengabaikan diri atau ‘self-neglect’, penyakit berat terutama depresi psikotik, berkayal atau ‘aired memory’, mengamuk atau ‘agitation’, dan serangan cemas atau ‘panic attacks’.

Tulisan berjudul ‘Most Antidepressants Ineffective for Kids With Depression’, pada Newsmedscape 9 Juni 2016, menjelaskan bahwa sebagian besar obat antidepresi tidak efektif, dan beberapa bahkan mungkin tidak aman, untuk anak dan remaja dengan gangguan depresi berat. Tulisan lain yang berjudul ‘Is This Really the Best Drug to Treat Depression in Children?’ pada Perspectivesmedscape 14 Desember 2016, berisi laporan sebuah penelitian meta-analisis dari uji klinis obat depresi, ternyata yang memiliki hasil yang jelas hanyalah fluoxetine. Tulisan berjudul ‘No New Antidepressants in Sight Despite Growing Need, Experts Warn’ dalam Newsmedscape 12 Januari 2017, menegaskan mungkin perlu waktu setidaknya 10 tahun lagi sampai generasi baru obat antidepresan tersedia di pasar, meskipun ada bukti bahwa kasus depresi dan cemas meningkat di seluruh dunia.

Uji klinis yang dianalisis adalah penelitian yang menggunakan obat antidepresan amitriptyline, citalopram, clomipramine, desipramine, duloxetine, escitalopram, fluoxetine, imipramine, mirtazapine, nefazodone, nortriptyline, paroxetine, sertraline, dan venlafaxine. Keluaran klinis yang dilakukan dalam metaanalisis adalah perubahan keseluruhan dalam gejala depresi, serta frekuensi penghentian terapi karena efek samping obat. Selain itu, juga munculnya ide bunuh diri atau perilaku menyimpang sebagai efek samping obat. Lebih dari 5.700 hasil penelitian telah diidentifikasi dan 34 uji klinis acak terkontrol yang memenuhi kriteria, dipilih untuk analisis. Jumlah total subyek penelitian adalah 5.200, dengan rata-rata 159 setiap penelitian. Usia rata-rata anak adalah 13,6 tahun dan 53% adalah anak perempuan.

Hanya terbukti ada tiga jenis obat antidepresi yang menunjukkan keberhasilan yang lebih besar dibandingkan plasebo, yaitu fluoxetine, escitalopram, dan sertraline. Sebaliknya, tolerabilitas obat antidepresi pada anak duloxetine, imipramine, sertraline, dan venlafaxine lebih rendah dibandingkan plasebo. Namun demikiaan, pada saat dilakukan analisis gabungan efikasi dan tolerabilitas, hanya fluoxetine yang secara konsisten lebih baik dibandingkan dengan plasebo. Venlafaxine adalah satu-satunya obat antidepresi yang dikaitkan dengan risiko signifikan lebih besar untuk perilaku bunuh diri atau ‘ideation’ dibandingkan dengan plasebo, serta dibandingkan dengan lima obat yang lain. Dalam analisis gabungan pada fluoxetine, 76,6% anak dengan depresi mengalami respon positif dan disimpulkan bahwa hanya fluoxetine yang secara signifikan lebih efektif daripada plasebo, dan ukuran efek ini dianggap berada di kisaran menengah.

Sampai saat ini fluoxetine adalah obat dengan data yang paling lengkap pada anak dan satu-satunya obat antidepresi yang secara konsisten menunjukkan efikasi dan tolerabilitas, sehingga menjadi obat anti depresi pilihan utama. Namun demikian, belum dapat disimpulkan bahwa obat lain tidak efektif. Hal ini disebabkan karena tidak sebanding dengan fluoxetine yang telah digunakan dalam 10 uji klinis, sedangkan obat lain yang mungkin juga efektif, tetapi dengan hanya dua atau tiga uji klinis yang melibatkan subyek rata-rata 159 anak, sehingga tidak tersedia cukup data.

Momentum ‘World Suicide Prevention Day’ setiap tanggal 10 September dan tulisan di Newsmedscape 12 Januari 2017 lalu, mengingatkan usaha kita bersama dalam mencegah bunuh diri pada remaja. Depresi dan gangguan mental merupakan faktor risiko utama untuk bunuh diri. Pengenalan dan pengelolaan depresi dengan obat antidepresi utama pada remaja dan dewasa muda, merupakan bagian penting dalam strategi pencegahan bunuh diri. Sudahkah kita peduli?

Sekian
Yogyakarta, 15 Februari 2017

fx. wikan indrarto
dokter spesialis anak di RS Panti Rapih, Ketua IDI Cabang Kota Yogyakarta, Alumnus S3 UGM

KECACINGAN

Kecacingan termasuk dalam 11 dari 20 jenis penyakit terabaikan atau Neglected Tropical Disease (NTD) yang terdapat di Indonesia, selain Filariasis, Schistosomiasis, Dengue Haemorrhagic Fever (DHF), Rabies, Frambusia, Lepra, Japanese B. Encephalitis, Cysticercosis, Fasciolopsis, dan Anthrax. Spesies utama yang menginfeksi manusia adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura) dan cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale). Apa yang sebaiknya dilakukan?

Lebih dari 1,5 miliar orang atau 24% dari populasi dunia, terinfeksi cacing tanah di seluruh dunia. Infeksi tersebar luas di daerah tropis dan subtropis, dengan angka terbesar terjadi di sub-Sahara Afrika, Amerika, Cina dan Asia Timur. Lebih dari 270 juta anak usia prasekolah dan lebih dari 600 juta anak usia sekolah tinggal di daerah, dimana parasit cacing ini secara intensif ditularkan, sehingga membutuhkan pengobatan dan intervensi pencegahan.

Cacing dewasa hidup di usus manusia dan menghasilkan ribuan telur setiap hari. Di daerah yang tidak memiliki sanitasi yang memadai, telur pada tinja ini mencemari tanah. Penularan cacing ini dapat terjadi dalam beberapa cara, misalnya telur yang melekat pada sayuran atau buah yang tertelan, ketika sayuran atau buah tersebut  tidak dicuci, dikupas, atau dimasak secara berhati-hati. Selain itu, telur cacing dapat juga tertelan dari sumber air yang terkontaminasi dan telur yang tertelan langsung. Cara terakhir biasanya terjadi pada anak yang bermain di tanah yang terkontaminasi, dan kemudian memasukkan tangan mereka di mulut, tanpa mencucinya. Telur cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale) menetas di dalam tanah, lalu melepaskan larva yang dapat aktif menembus kulit telapak kaki. Orang akan mudah terinfeksi cacing tambang, terutama saat berjalan tanpa alas kaki di tanah yang terkontaminasi.

Kecacingan akan mengganggu status gizi orang yang terinfeksi dalam berbagai cara. Pertama, cacing memakan jaringan manusia, termasuk sel darah, yang menyebabkan hilangnya besi dan protein secara terus menerus. Kedua, cacing meningkatkan malabsorpsi atau gangguan penyerapan berbagai nutrisi penting di dalam usus. Selain itu, cacing gelang (Ascaris lumbricoides) mungkin dapat mengganggu penyerapan vitamin A dalam usus. Beberapa jenis cacing tanah juga menyebabkan hilangnya nafsu makan, penurunan asupan gizi dan kebugaran fisik. Secara khusus, cacing cambuk (Trichuris trichiura) dapat menyebabkan diare dan disentri, sedangkan cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale) menyebabkan kehilangan darah usus kronis yang dapat mengakibatkan anemia.

Pada tahun 2001, delegasi pada Majelis Kesehatan Dunia dengan suara bulat mengesahkan resolusi yang berkode WHA54.19, yang mendesak berbagai negara endemik agar lebih serius menangani kecacingan, khususnya schistosomiasis dan cacing tanah. Orang yang berisiko adalah anak prasekolah, anak usia sekolah, wanita usia subur (termasuk wanita hamil pada trimester kedua dan ketiga dan wanita menyusui), dan orang dewasa yang dalam pekerjaannya berisiko tinggi, misalnya pemetik daun teh atau pekerja tambang. WHO menganjurkan dilakukannya pengobatan secara periodik dengan obat cacing, tanpa harus didiagnosis sebelumnya, untuk semua orang berisiko yang tinggal di daerah endemik.

Pengobatan harus diberikan sekali setahun, sesuai prevalensi infeksi cacing tanah di masyarakat yang lebih dari 20%, dan dua kali setahun padabprevalensi yang lebih dari 50%. Sebagai tambahan, perlu juga dilakukan pendidikan kesehatan umum dan kebersihan, untuk mengurangi penularan dan infeksi cacing ulang, dengan mendorong perilaku hidup sehat. Selain itu, juga dengan perbaikan sanitasi yang memadai, meskipun terbukti juga sangat penting, tetapi tidak selalu mungkin di wilayah miskin sumber daya. Di seluruh Indonesia kegiatan tersebut telah dilakukan terpadu mulai saat anak masuk sekolah, misalnya pelaksanaan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) seperti menggosok gigi dengan baik dan benar, mencuci tangan menggunakan sabun, pemeriksaan karies gigi, kelainan refraksi atau ketajaman penglihatan dan masalah gizi. Pada tahun 2015, lebih dari 361 juta anak sekolah telah diobati dengan obat cacing anthelminthic di banyak negara endemik di seluruh dunia, atau sekitar 63% dari semua anak beresiko. Sekolah merupakan titik masuk yang sangat baik untuk kegiatan pemberantasan kecacingan, karena memudahkan penyediaan pendidikan kesehatan dan kebersihan, seperti kegiatan mencuci tangan dan perbaikan sanitasi.

WHO merekomendasikan obat cacing anthelminthic, yaitu albendazole (400 mg) dan mebendazole (500 mg), yang efektif, murah, dan mudah diberikan oleh tenaga non-medis, misalnya guru di sekolah. Target global adalah untuk menghilangkan morbiditas karena kecacingan pada anak sampai tahun 2020. Target ini akan tercapai dengan pengobatan rutin pada setidaknya 75% anak di daerah endemik, yaitu sekitar 873 juta anak di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

Sudahkah Anda peduli terhadap anak di sekitar kita?

Sekian
Yogyakarta, 26 Januari 2017

fx. wikan indrarto
dokter spesialis anak di RS Panti Rapih, Ketua IDI Cabang Kota Yogyakarta, Alumnus S3 UGM.