BAHAYA OBAT BEBAS

Pada musim pancaroba seperti sekarang ini, penggunaan obat OTC (Over-the-counter), obat bebas atau obat yang dapat dibeli tanpa resep dokter (non-prescription) untuk pasien anak, meningkat tajam dan biasanya aman. Namun demikian, jika digunakan di luar rekomendasi dokter, obat tersebut juga dapat menjadi berbahaya bagi anak. Meskipun kurang kuat dibandingkan kebanyakan obat keras yang memerlukan resep dokter, obat OTC berpotensi disalahgunakan, kelebihan dosis, keracunan, dan menimbulkan kecanduan. Apa yang sebaiknya disadari?

Obat OTC yang banyak digunakan oleh anak biasanya adalah obat selesma atau flu, suplemen makanan, dan vitamin. Terjadinya kejang dan pemanjangan impuls konduksi otot jantung merupakan kejadian yang paling umum, terkait dengan penggunaan diphenhydramine dalam obat flu dosis besar. Sebaliknya, terjadinya gangguan aliran listrik otot jantung yang tercermin dalam EKG dan disebut sindrome pemanjangan QT dan aritmia jantung, biasanya tidak terkait dengan penggunaan klorfeniramin dan loratadin dalam obat flu kombinasi.  Efek samping saluran cerna terbukti tidak berhubungan dengan derivatif etanolamin dalam obat flu, misalnya doxylamine, diphenhydramine, dan bromo diphen hydramine yang memiliki aktivitas seperti atropin yang kuat, tetapi justru lebih sering menimbulkan rasa mengantuk pada anak. Selain itu, penggunaan antihistamin nonsedasi generasi lebih baru pada anak, ternyata tidak memiliki gejala antikolinergik yang lebih sentral, dibandingkan antihistamin nonsedasi generasi pertama dalam obat flu.

Oleh karena sebagian besar obat batuk dan pilek (cough and cold preparations) merupakan obat kombinasi, sehingga obat toxidrome tunggal mungkin tidak tersedia sebagai obat OTC. Riwayat penggunaan obat oleh pasien anak cukup berguna dan membantu dokter untuk mencari temuan klinis dalam pemeriksaan fisik. Namun demikian, data riwayat penggunaan obat tersebut seringkali tidak akurat. Dengan demikian, temuan klinis pada pasien anak yang mengalami keracunan atau toksisitas obat tidak selalu mudah. Dokter harus teliti untuk mencari temuan klinis abnormal yang meliputi hipertermia, takipnea, takikardia dan hipertensi, sesuai dengan usia anak. Hipertermia telah sering dilaporkan terkait dengan konsumsi diphenhydramine dan antihistamin dalam kombinasi dengan dekongestan, pada obat OTC.

Kebanyakan pasien anak yang mengalami overdosis acetaminophen pada awalnya akan asimtomatik dan gejala klinis toksisitas organ tidak terlihat sampai 24-48 jam setelah konsumsi akut. Oleh karena itu, untuk mengidentifikasi pasien anak yang mungkin beresiko mengalami hepatotoksisitas, dokter harus menentukan onset waktu menelan obat, kuantitas, dan dosis acetaminophen yang tertelan. Acetaminophen terkandung dalam berbagai bentuk obat OTC kombinasi untuk batuk, flu, migrain, alergi, dan penekan rasa sakit. Dengan demikian, orang tua pasien anak mungkin tidak menyadari berapa banyak acetaminophen yang telah diberikan. Dosis toksik minimum acetaminophen konsumsi tunggal, yang berisiko signifikan untuk terjadinya hepatotoksisitas berat, adalah 200 mg / kgBB pada anak sehat usia 1-6 tahun. Beberapa orangtua pasien anak mungkin melaporkan penurunan keluaran air kemih (oliguria), 18-72 jam setelah konsumsi obat tersebut.

Tidak ada penelitian khusus pada anak yang telah dilakukan untuk overdosis obat antikolinergik. Manifestasi umum overdosis antikolinergik meliputi flushing, kulit dan selaput lendir kering, midriasis dengan hilangnya akomodasi, perubahan status mental dan demam. Manifestasi klinis tambahan meliputi sinus takikardia, bising usus menurun, ileus fungsional, retensi urin, dan hipertensi. Peningkatan suara bising usus tidaklah umum ditemukan pada pemeriksaan fisik pasien anak. Pemeriksaan penunjang medik yang dapat dipertimbangkan meliputi skrining acetaminophen dan salisilat dalam semua kasus keracunan yang disengaja, pemeriksaan kultur darah dan urin pada pasien demam, analisis kimia dan elektrolit serum, analisis elektrolit dan gas darah arteri. Pemeriksaan penunjang medik tambahan yang mungkin berguna adalah CT Scan dan MRI kepala, EKG dan pungsi lumbal untuk semua pasien dengan demam dan gangguan kesadaran. Pasien dengan toksisitas antikolinergik harus dirujuk ke fasilitas gawat darurat terdekat dengan kemampuan pendukung kehidupan yang canggih. Hindari pemberian sirup ipecac dan arang aktif secara rutin, kecuali untuk antisipasi terhadap waktu untuk perjalanan yang lama. Obat penawar untuk keracunan antikolinergik adalah physostigmine. Meskipun sebagian besar kasus dapat membaik tanpa diobati, tetapi dianjurkan penggunaan physostigmine apabila terdapat takikardi dan disritmia jantung, gangguan hemodinamik, kejang, agitasi atau psikosis berat. Physostigmine merupakan kontraindikasi pada pasien anak dengan gangguan konduksi jantung pada EKG.

Gambaran klinis keracunan vitamin pada anak juga perlu dikenali oleh dokter. Pada umumnya  temuan pemeriksaan fisik mungkin normal pada pasien anak dengan keracunan vitamin E. Toksisitas vitamin A dapat mengakibatkan sakit kepala, fotofobia, sakit perut, mengantuk, iritabilitas dan deskuamasi kulit. Efek toksisitas Vitamin B-1 (tiamin) adalah takikardia, hipotensi, disritmia jantung, sakit kepala, syok anafilaksis, vasodilatasi, kelemahan umum dan kejang.

Penggunaan obat OTC (Over-the-counter) untuk pasien anak biasanya aman. Namun demikian, dokter perlu mewaspadai toksisitas obat OTC pada pasien anak, yang diberikan obat selesma atau flu, suplemen makanan, dan vitamin di luar anjuran. Apa kita sudah bertindak bijak?

Sekian
Yogyakarta, 2 Februari 2017

fx. wikan indrarto
dokter spesialis anak di RS Panti Rapih, Ketua IDI Cabang Kota Yogyakarta, Alumnus S3 UGM.