DEPRESI PADA ANAK

Gangguan depresi berat dialami oleh sekitar 3% anak usia sekolah dan 6% remaja, sehingga terjadi peningkatan penggunaan obat antidepresi oleh anak dan remaja dalam beberapa dekade terakhir. Meta analisis penelitian terbaru tentang obat antidepresan pilihan untuk anak, dapat dibaca dalam Newsmedscape 12 Januari 2017 (lihat http://www.medscape.com/viewarticle). Apa yang sebaiknya kita cermati?

Semua jenis gangguan mental pada remaja berhubungan dengan bunuh diri, termasuk gangguan bipolar afektif, episode depresi, gangguan depresi berulang dan gangguan suasana hati persisten, misalnya cyclothymia dan dysthymia. Oleh karena depresi adalah faktor risiko yang signifikan pada bunuh diri, maka depresi wajib diketahui dan dikelola dengan tepat. Diperkirakan bahwa 30% dari pasien remaja pada praktek dokter umum juga menderita depresi, dan sekitar 60% pasien depresi yang mencari pengobatan, pada awalnya datang di praktek dokter umum. Ini merupakan tantangan khusus bagi dokter umum untuk bekerja dengan baik, mengenali adanya penyakit fisik dan gangguan mental pada remaja yang terjadi secara bersamaan. Gejala klinis umum depresi adalah kelelahan, kesedihan, kurangnya konsentrasi, gelisah, lekas marah, gangguan tidur, dan sakit di bagian tubuh yang berpindah-pindah. Gejala tersebut harus diwaspadai dokter dan gambaran klinis spesifik yang terkait dengan peningkatan risiko bunuh diri pada pasien depresi adalah sulit tidur yang lama atau ‘persistent insomnia’, mengabaikan diri atau ‘self-neglect’, penyakit berat terutama depresi psikotik, berkayal atau ‘aired memory’, mengamuk atau ‘agitation’, dan serangan cemas atau ‘panic attacks’.

Tulisan berjudul ‘Most Antidepressants Ineffective for Kids With Depression’, pada Newsmedscape 9 Juni 2016, menjelaskan bahwa sebagian besar obat antidepresi tidak efektif, dan beberapa bahkan mungkin tidak aman, untuk anak dan remaja dengan gangguan depresi berat. Tulisan lain yang berjudul ‘Is This Really the Best Drug to Treat Depression in Children?’ pada Perspectivesmedscape 14 Desember 2016, berisi laporan sebuah penelitian meta-analisis dari uji klinis obat depresi, ternyata yang memiliki hasil yang jelas hanyalah fluoxetine. Tulisan berjudul ‘No New Antidepressants in Sight Despite Growing Need, Experts Warn’ dalam Newsmedscape 12 Januari 2017, menegaskan mungkin perlu waktu setidaknya 10 tahun lagi sampai generasi baru obat antidepresan tersedia di pasar, meskipun ada bukti bahwa kasus depresi dan cemas meningkat di seluruh dunia.

Uji klinis yang dianalisis adalah penelitian yang menggunakan obat antidepresan amitriptyline, citalopram, clomipramine, desipramine, duloxetine, escitalopram, fluoxetine, imipramine, mirtazapine, nefazodone, nortriptyline, paroxetine, sertraline, dan venlafaxine. Keluaran klinis yang dilakukan dalam metaanalisis adalah perubahan keseluruhan dalam gejala depresi, serta frekuensi penghentian terapi karena efek samping obat. Selain itu, juga munculnya ide bunuh diri atau perilaku menyimpang sebagai efek samping obat. Lebih dari 5.700 hasil penelitian telah diidentifikasi dan 34 uji klinis acak terkontrol yang memenuhi kriteria, dipilih untuk analisis. Jumlah total subyek penelitian adalah 5.200, dengan rata-rata 159 setiap penelitian. Usia rata-rata anak adalah 13,6 tahun dan 53% adalah anak perempuan.

Hanya terbukti ada tiga jenis obat antidepresi yang menunjukkan keberhasilan yang lebih besar dibandingkan plasebo, yaitu fluoxetine, escitalopram, dan sertraline. Sebaliknya, tolerabilitas obat antidepresi pada anak duloxetine, imipramine, sertraline, dan venlafaxine lebih rendah dibandingkan plasebo. Namun demikiaan, pada saat dilakukan analisis gabungan efikasi dan tolerabilitas, hanya fluoxetine yang secara konsisten lebih baik dibandingkan dengan plasebo. Venlafaxine adalah satu-satunya obat antidepresi yang dikaitkan dengan risiko signifikan lebih besar untuk perilaku bunuh diri atau ‘ideation’ dibandingkan dengan plasebo, serta dibandingkan dengan lima obat yang lain. Dalam analisis gabungan pada fluoxetine, 76,6% anak dengan depresi mengalami respon positif dan disimpulkan bahwa hanya fluoxetine yang secara signifikan lebih efektif daripada plasebo, dan ukuran efek ini dianggap berada di kisaran menengah.

Sampai saat ini fluoxetine adalah obat dengan data yang paling lengkap pada anak dan satu-satunya obat antidepresi yang secara konsisten menunjukkan efikasi dan tolerabilitas, sehingga menjadi obat anti depresi pilihan utama. Namun demikian, belum dapat disimpulkan bahwa obat lain tidak efektif. Hal ini disebabkan karena tidak sebanding dengan fluoxetine yang telah digunakan dalam 10 uji klinis, sedangkan obat lain yang mungkin juga efektif, tetapi dengan hanya dua atau tiga uji klinis yang melibatkan subyek rata-rata 159 anak, sehingga tidak tersedia cukup data.

Momentum ‘World Suicide Prevention Day’ setiap tanggal 10 September dan tulisan di Newsmedscape 12 Januari 2017 lalu, mengingatkan usaha kita bersama dalam mencegah bunuh diri pada remaja. Depresi dan gangguan mental merupakan faktor risiko utama untuk bunuh diri. Pengenalan dan pengelolaan depresi dengan obat antidepresi utama pada remaja dan dewasa muda, merupakan bagian penting dalam strategi pencegahan bunuh diri. Sudahkah kita peduli?

Sekian
Yogyakarta, 15 Februari 2017

fx. wikan indrarto
dokter spesialis anak di RS Panti Rapih, Ketua IDI Cabang Kota Yogyakarta, Alumnus S3 UGM

KECACINGAN

Kecacingan termasuk dalam 11 dari 20 jenis penyakit terabaikan atau Neglected Tropical Disease (NTD) yang terdapat di Indonesia, selain Filariasis, Schistosomiasis, Dengue Haemorrhagic Fever (DHF), Rabies, Frambusia, Lepra, Japanese B. Encephalitis, Cysticercosis, Fasciolopsis, dan Anthrax. Spesies utama yang menginfeksi manusia adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura) dan cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale). Apa yang sebaiknya dilakukan?

Lebih dari 1,5 miliar orang atau 24% dari populasi dunia, terinfeksi cacing tanah di seluruh dunia. Infeksi tersebar luas di daerah tropis dan subtropis, dengan angka terbesar terjadi di sub-Sahara Afrika, Amerika, Cina dan Asia Timur. Lebih dari 270 juta anak usia prasekolah dan lebih dari 600 juta anak usia sekolah tinggal di daerah, dimana parasit cacing ini secara intensif ditularkan, sehingga membutuhkan pengobatan dan intervensi pencegahan.

Cacing dewasa hidup di usus manusia dan menghasilkan ribuan telur setiap hari. Di daerah yang tidak memiliki sanitasi yang memadai, telur pada tinja ini mencemari tanah. Penularan cacing ini dapat terjadi dalam beberapa cara, misalnya telur yang melekat pada sayuran atau buah yang tertelan, ketika sayuran atau buah tersebut  tidak dicuci, dikupas, atau dimasak secara berhati-hati. Selain itu, telur cacing dapat juga tertelan dari sumber air yang terkontaminasi dan telur yang tertelan langsung. Cara terakhir biasanya terjadi pada anak yang bermain di tanah yang terkontaminasi, dan kemudian memasukkan tangan mereka di mulut, tanpa mencucinya. Telur cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale) menetas di dalam tanah, lalu melepaskan larva yang dapat aktif menembus kulit telapak kaki. Orang akan mudah terinfeksi cacing tambang, terutama saat berjalan tanpa alas kaki di tanah yang terkontaminasi.

Kecacingan akan mengganggu status gizi orang yang terinfeksi dalam berbagai cara. Pertama, cacing memakan jaringan manusia, termasuk sel darah, yang menyebabkan hilangnya besi dan protein secara terus menerus. Kedua, cacing meningkatkan malabsorpsi atau gangguan penyerapan berbagai nutrisi penting di dalam usus. Selain itu, cacing gelang (Ascaris lumbricoides) mungkin dapat mengganggu penyerapan vitamin A dalam usus. Beberapa jenis cacing tanah juga menyebabkan hilangnya nafsu makan, penurunan asupan gizi dan kebugaran fisik. Secara khusus, cacing cambuk (Trichuris trichiura) dapat menyebabkan diare dan disentri, sedangkan cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale) menyebabkan kehilangan darah usus kronis yang dapat mengakibatkan anemia.

Pada tahun 2001, delegasi pada Majelis Kesehatan Dunia dengan suara bulat mengesahkan resolusi yang berkode WHA54.19, yang mendesak berbagai negara endemik agar lebih serius menangani kecacingan, khususnya schistosomiasis dan cacing tanah. Orang yang berisiko adalah anak prasekolah, anak usia sekolah, wanita usia subur (termasuk wanita hamil pada trimester kedua dan ketiga dan wanita menyusui), dan orang dewasa yang dalam pekerjaannya berisiko tinggi, misalnya pemetik daun teh atau pekerja tambang. WHO menganjurkan dilakukannya pengobatan secara periodik dengan obat cacing, tanpa harus didiagnosis sebelumnya, untuk semua orang berisiko yang tinggal di daerah endemik.

Pengobatan harus diberikan sekali setahun, sesuai prevalensi infeksi cacing tanah di masyarakat yang lebih dari 20%, dan dua kali setahun padabprevalensi yang lebih dari 50%. Sebagai tambahan, perlu juga dilakukan pendidikan kesehatan umum dan kebersihan, untuk mengurangi penularan dan infeksi cacing ulang, dengan mendorong perilaku hidup sehat. Selain itu, juga dengan perbaikan sanitasi yang memadai, meskipun terbukti juga sangat penting, tetapi tidak selalu mungkin di wilayah miskin sumber daya. Di seluruh Indonesia kegiatan tersebut telah dilakukan terpadu mulai saat anak masuk sekolah, misalnya pelaksanaan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) seperti menggosok gigi dengan baik dan benar, mencuci tangan menggunakan sabun, pemeriksaan karies gigi, kelainan refraksi atau ketajaman penglihatan dan masalah gizi. Pada tahun 2015, lebih dari 361 juta anak sekolah telah diobati dengan obat cacing anthelminthic di banyak negara endemik di seluruh dunia, atau sekitar 63% dari semua anak beresiko. Sekolah merupakan titik masuk yang sangat baik untuk kegiatan pemberantasan kecacingan, karena memudahkan penyediaan pendidikan kesehatan dan kebersihan, seperti kegiatan mencuci tangan dan perbaikan sanitasi.

WHO merekomendasikan obat cacing anthelminthic, yaitu albendazole (400 mg) dan mebendazole (500 mg), yang efektif, murah, dan mudah diberikan oleh tenaga non-medis, misalnya guru di sekolah. Target global adalah untuk menghilangkan morbiditas karena kecacingan pada anak sampai tahun 2020. Target ini akan tercapai dengan pengobatan rutin pada setidaknya 75% anak di daerah endemik, yaitu sekitar 873 juta anak di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

Sudahkah Anda peduli terhadap anak di sekitar kita?

Sekian
Yogyakarta, 26 Januari 2017

fx. wikan indrarto
dokter spesialis anak di RS Panti Rapih, Ketua IDI Cabang Kota Yogyakarta, Alumnus S3 UGM.

BAHAYA OBAT BEBAS

Pada musim pancaroba seperti sekarang ini, penggunaan obat OTC (Over-the-counter), obat bebas atau obat yang dapat dibeli tanpa resep dokter (non-prescription) untuk pasien anak, meningkat tajam dan biasanya aman. Namun demikian, jika digunakan di luar rekomendasi dokter, obat tersebut juga dapat menjadi berbahaya bagi anak. Meskipun kurang kuat dibandingkan kebanyakan obat keras yang memerlukan resep dokter, obat OTC berpotensi disalahgunakan, kelebihan dosis, keracunan, dan menimbulkan kecanduan. Apa yang sebaiknya disadari?

Obat OTC yang banyak digunakan oleh anak biasanya adalah obat selesma atau flu, suplemen makanan, dan vitamin. Terjadinya kejang dan pemanjangan impuls konduksi otot jantung merupakan kejadian yang paling umum, terkait dengan penggunaan diphenhydramine dalam obat flu dosis besar. Sebaliknya, terjadinya gangguan aliran listrik otot jantung yang tercermin dalam EKG dan disebut sindrome pemanjangan QT dan aritmia jantung, biasanya tidak terkait dengan penggunaan klorfeniramin dan loratadin dalam obat flu kombinasi.  Efek samping saluran cerna terbukti tidak berhubungan dengan derivatif etanolamin dalam obat flu, misalnya doxylamine, diphenhydramine, dan bromo diphen hydramine yang memiliki aktivitas seperti atropin yang kuat, tetapi justru lebih sering menimbulkan rasa mengantuk pada anak. Selain itu, penggunaan antihistamin nonsedasi generasi lebih baru pada anak, ternyata tidak memiliki gejala antikolinergik yang lebih sentral, dibandingkan antihistamin nonsedasi generasi pertama dalam obat flu.

Oleh karena sebagian besar obat batuk dan pilek (cough and cold preparations) merupakan obat kombinasi, sehingga obat toxidrome tunggal mungkin tidak tersedia sebagai obat OTC. Riwayat penggunaan obat oleh pasien anak cukup berguna dan membantu dokter untuk mencari temuan klinis dalam pemeriksaan fisik. Namun demikian, data riwayat penggunaan obat tersebut seringkali tidak akurat. Dengan demikian, temuan klinis pada pasien anak yang mengalami keracunan atau toksisitas obat tidak selalu mudah. Dokter harus teliti untuk mencari temuan klinis abnormal yang meliputi hipertermia, takipnea, takikardia dan hipertensi, sesuai dengan usia anak. Hipertermia telah sering dilaporkan terkait dengan konsumsi diphenhydramine dan antihistamin dalam kombinasi dengan dekongestan, pada obat OTC.

Kebanyakan pasien anak yang mengalami overdosis acetaminophen pada awalnya akan asimtomatik dan gejala klinis toksisitas organ tidak terlihat sampai 24-48 jam setelah konsumsi akut. Oleh karena itu, untuk mengidentifikasi pasien anak yang mungkin beresiko mengalami hepatotoksisitas, dokter harus menentukan onset waktu menelan obat, kuantitas, dan dosis acetaminophen yang tertelan. Acetaminophen terkandung dalam berbagai bentuk obat OTC kombinasi untuk batuk, flu, migrain, alergi, dan penekan rasa sakit. Dengan demikian, orang tua pasien anak mungkin tidak menyadari berapa banyak acetaminophen yang telah diberikan. Dosis toksik minimum acetaminophen konsumsi tunggal, yang berisiko signifikan untuk terjadinya hepatotoksisitas berat, adalah 200 mg / kgBB pada anak sehat usia 1-6 tahun. Beberapa orangtua pasien anak mungkin melaporkan penurunan keluaran air kemih (oliguria), 18-72 jam setelah konsumsi obat tersebut.

Tidak ada penelitian khusus pada anak yang telah dilakukan untuk overdosis obat antikolinergik. Manifestasi umum overdosis antikolinergik meliputi flushing, kulit dan selaput lendir kering, midriasis dengan hilangnya akomodasi, perubahan status mental dan demam. Manifestasi klinis tambahan meliputi sinus takikardia, bising usus menurun, ileus fungsional, retensi urin, dan hipertensi. Peningkatan suara bising usus tidaklah umum ditemukan pada pemeriksaan fisik pasien anak. Pemeriksaan penunjang medik yang dapat dipertimbangkan meliputi skrining acetaminophen dan salisilat dalam semua kasus keracunan yang disengaja, pemeriksaan kultur darah dan urin pada pasien demam, analisis kimia dan elektrolit serum, analisis elektrolit dan gas darah arteri. Pemeriksaan penunjang medik tambahan yang mungkin berguna adalah CT Scan dan MRI kepala, EKG dan pungsi lumbal untuk semua pasien dengan demam dan gangguan kesadaran. Pasien dengan toksisitas antikolinergik harus dirujuk ke fasilitas gawat darurat terdekat dengan kemampuan pendukung kehidupan yang canggih. Hindari pemberian sirup ipecac dan arang aktif secara rutin, kecuali untuk antisipasi terhadap waktu untuk perjalanan yang lama. Obat penawar untuk keracunan antikolinergik adalah physostigmine. Meskipun sebagian besar kasus dapat membaik tanpa diobati, tetapi dianjurkan penggunaan physostigmine apabila terdapat takikardi dan disritmia jantung, gangguan hemodinamik, kejang, agitasi atau psikosis berat. Physostigmine merupakan kontraindikasi pada pasien anak dengan gangguan konduksi jantung pada EKG.

Gambaran klinis keracunan vitamin pada anak juga perlu dikenali oleh dokter. Pada umumnya  temuan pemeriksaan fisik mungkin normal pada pasien anak dengan keracunan vitamin E. Toksisitas vitamin A dapat mengakibatkan sakit kepala, fotofobia, sakit perut, mengantuk, iritabilitas dan deskuamasi kulit. Efek toksisitas Vitamin B-1 (tiamin) adalah takikardia, hipotensi, disritmia jantung, sakit kepala, syok anafilaksis, vasodilatasi, kelemahan umum dan kejang.

Penggunaan obat OTC (Over-the-counter) untuk pasien anak biasanya aman. Namun demikian, dokter perlu mewaspadai toksisitas obat OTC pada pasien anak, yang diberikan obat selesma atau flu, suplemen makanan, dan vitamin di luar anjuran. Apa kita sudah bertindak bijak?

Sekian
Yogyakarta, 2 Februari 2017

fx. wikan indrarto
dokter spesialis anak di RS Panti Rapih, Ketua IDI Cabang Kota Yogyakarta, Alumnus S3 UGM.